Banten Arcanam dan Nyasa
Banten Arcanam dan Nyasa
Om
Swastiastu;
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ;
semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru
Pinandita
Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati
Yang
saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar
Yang
saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug
Yang
saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug
Dan
Umat Sedharma yang berbahagia.
Pada
hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Banten Arcanam dan Nyasa
Pertama-tama
saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
Sesuhunan Yang Melinggih di Pura
Dharma Sidhi karena atas asung kerta waranugraha-Nya lah saya dan kita semua
dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.
Bapak-Ibu
Umat Sedharma yang berbahagia;
Banten,
Babali, adalah salah satu unsur sadhana bhakti, dalam persembahan dan pemujaan
atau yajna yang dilaksanakan oleh masyarakat umat Hindu. Bahkan banten, Babali
itu sendiri tergolong juga Dewa wigraha (Arcanam), dan Nyasa (simbul-simbul
keagamaan Hindu).
Seperti
porosan, porosan sebagai pelengkap suatu upakara, memiliki ajaran konsep Nyasa,
filsafat dan ajaran tattwa yang basic dan konseptual dengan ajaran
Siwasidhanta, yang kita anut di Bali, disamping konsep ajaran filsafat dan
tattwa, yang lainnya, seperti Budha Mahayana, sehingga oleh para ahli agama
Hindu yang kita anut di Bali, sering kita sebut Siwa Budha.
Unsur-unsur porosan, yang terdiri dari kamben porosan, base, buah, dan pamor
itu, adalah nyasa prabhawa Hyang Widhi dalam wujud Dewa Trimurthi.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Buah,
yang berwama merah, nyasa Dewa Brahma, sebagai prabhawa utpthi, (pencipta).
Base, berwarna hijau, adalah nyasa Dewa Wisnu sebagai prabhawa stithi,
(pemelihara, Pembina, dan Pengayo).
Sedangkan
pamor, yang berwarna putih, adalah sebagai nyasa Dewa Siwa sebagai prabhawa
Hyang Widhi, dalam wujud sebagai pelebur atau pamralina.
Belum
lagi pengungkapan aspek filsafat, tattwa dan nyasa beberapa bentuk dan jenis
banten, seperti pabangkit, gayah utuh, sampai telah ditingkatkan menjadi Sate
Tegeh, Sate Wayang atau Sate Bingin, yang merupakan nyasa Durgha Dewi, shakti
Dewa Siwa itu.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Demikian
pula halnya pula gembal, sampai telah ditingkatkan wujudnya menjadi sarad, yang
merupakan nyasa Dewa Ganesya (Gana+lsa), putra Dewa Siwa dengan Parwati Dewi,
(dasanama lain) Uma Dewi.
Dewa
Ganesya, atau di Bali lebih dikenal sebagai Bhatara Gana, adalah juga abhiseka
Dewa Awighnesura, yang berarti; Dewa Raja Rintangan atau Dewa Penghalang
Rintangan.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Demikian
pula tidak akan mungkin kita membicarakan aspek-aspek ajaran filsafat, tattwa
dan nyasa eteh-eteh tatandingan Daksina, Bagia Pulakerti, yang kedua bentuk dan
jenis banten itu me-nyasa-kan alam raya (isi Bhwana Agung) ini.
Termasuk
plawa peselan, plawa munggah ring sanggar tawang, yang dalam upaweda merupakan
pancavrikshu, (lima tumbuh-turnbuhan sorga), dari indraloka, yang ditanam di
taman Nandhane, Taman Dewa Indra di indraloka yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan
suci, seperti ; (1) Mandara, (2) Kalpa Vriksha, (3) Parijataka, (4)
Hari-Chendanaka, dan Bodi, (di Bali, sering diganti dengan ancak).
Lalu
bagaimana kisah Panca Vriksha itu sampai tumbuh di Madyapada atau dunia ini,
menurut sumber Upaweda.
Dan
kenapa Panca Vriksha selalu digunakan khusus sebagai Plawa Sanggar Tawang,
Sanggar Tutuan atau Sanggar Surya, Panggunga, yang menurut tradisi Bali, di
samping yang pokok mempergunakan (1) Bingin, (2) Ancak, tiga jenis plawa
lainnya, sebagai pengganti, biasa digunakan (3) Uduh, (4) Peji dan (5) Biyu
Lalung.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Di
samping kelima tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai plawa Sanggar Tawang,
Sanggar Tutuan atau Sanggar Surya dan panggungan merupakan nyasa sorga, juga
sebagai tuntunan ajaran tata susila, yang pengungkapannya secara kirata basa,
yakni dimana dipasang plawa uduh, irika patut kapituduhang ngunggahang banten
(upakara).
Dimana
dipasang plawa peji, yang sampun ngunggahang banten, punika sane kapuji.
Sedangkan
plawa biyu lalung, pisang adalah juga disebut salah satu species
tumbuh-tumbuhan atau buah sorga, yang dalam beberapa lontar Mpu Lutuk dan
Prembon Babantenan, sebagai nyasa tateken atau Tungked Bathara Surya.
Selain
dari itu, banten juga merupakan nyasa paragan Widhi, atau nyasa wujud fisik
Widhi (Brahman), seperti yang dikemukakan dalam Lontar Medang Kemulan, yang
petikannya sebagai berikut:
Umat
Sedharma yang berbahagia;
" ... saha widhiwidhananya, tekeng taledan awang sasayut, marage dewa
sami, tekeng wawangunan.Bantene ring sanggar tawang, ring aryane pinaka ulunin
bhatara, tekeng bahu sasana ring tutuan, pinaka hasta karo, babantene ring
arepan widhine pinaka, anggan bhatara, carune pinaka wamun, bhatara tekeng
gigir awang ampolan, sane ring panggungan, pinaka sukun bhatara, sane ring
paselang, pinaka dlamakan bhatara, sakwehing jajaitan, pinaka carman
bhatara......
Berdasarkan petikan lontar Medang Kemulan yang telah dikemukakan sesuai dengan
opini atau pendapat umum dikalangan masyarakat umat Hindu di Bali, sangat
keliru, bahwa semua banten itu adalah merupakan rayunan Widhi, Seperti telah
dikemukakan, berbagai bentuk dan jenis banten (upakara) adalah memiliki konsep
ajaran filsafat, tattwa dan berbagai aspek nyasa.
Bahkan
ada yang merupakan tuntunan ajaran yang bersifat petunjuk kepatutan ngunggahang
banten (ingat plawa peji dan uduh). Termasuk merupakan sedana dan sarana doa,
(ingat data upacara Pakerab Kambe atau Masakapan, saat dilakukan upacara
Makalakalan, aed terakhir kedua mempelai menanam kunyit-endong di belakang
sanggah kemulan atau pamrajan kamimitan, itu adalah penyampaian doa secara
kiratabasa, (mara ngajengit apang suba ngelandong).
Ingat dan bandingkan pula dengan upacara mantenan padi di lumbung, yang
eteh-eteh bantennya, berisi don dindingai, don tebel-tebel, dan kayu padi, yang
semuanya merupakan doa yang dikemukakan secara kiratabasa.
Bapak-Ibu
Umat Sedharma yang berbahagia;
Harapan saya dari apa
yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat bagi
kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini
saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak
retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu