Matahari diatas Kepala |
Pada tanggal 20 Maret 1996, bertepatan dengan Tilem Caitra (tilem kesanga) Karya Agung Eka Bhuwana digelar di kaki Gunung Agung. Ada peristiwa penting yang patut kita catat yang terjadi pada saat itu.
Pada saat itu sesungguhnya terjadi peristiwa alam yang jarang terjadi, yaitu bhumi, bulan (Indu) dan matahari (Windhu) dalam satu garis lurus tegak di atas khatulistiwa, garis tengah bhumi. Sebagaimana diketahui pada tanggal 20 Maret pada tahun Kabisat (angka tahun habis dibagi empat) Matahari tepat berada di atas garis Khatulistiwa, dimana waktu siang dan malam menjadi sama 12 jam (pada tahun biasa matahari tegak di atas Khatulistiwa pada tanggal 21 Maret).
Peristiwa alam seperti ini menjadi sangat penting bagi penentuan Subhadiwasa, hari baik penyelenggaraan sebuah karya agung yang didasarkan atas wawasan kesemestaan. Peristiwa alam seperti itu, dimana bhumi, bulan (Indu) dan matahari (Windhu) dalam posisi lurus dan tegak, adalah bagaikan Omkara ngadeg (aksara suci OM yang tegak berdiri).
Omkara disuratkan sebagai aksara suci yang menyimbulkan bhumi (Okara), bhulan / candra / Indu, matahari / Windhu dan bintang-bintang, naksatra atau nada. Oleh karena itu OM sebagai pranawa mantra disebut juga sebagai lagu Brahma (nada Brahma) atau lagu alam semesta. Baca artikel Om, is the most inportant symbol in Hinduism
Alam Semesta yang terdiri atas benda-benda bersinar di langit, disebut sebagai Brahmanda (Brahma-anda) atau "Telor Brahma". Benda-benda bersinar tersebut adalah telor-telor atau bulatan-bulatan yang memancarkan sinar, dan sinarnya berasal dari sinar Surya. Oleg karena itu Surya / Aditya disebut-sebut sebagai sumber kehidupan, sumber cahaya.
Mpu Kanwa pernah menulis :
sasi wimbha haneng gatha mesi banu / ndan asing suci nirmala mesi wulan / iwa mangkana rakwa kiteng kaladin / ring angambeki yoga kiteng sakala //
Bayangan bulan terdapat dalam tempayan yang berisi air / pada setiap yang beris air yang suci hebing terdapat bayangan bulan / demikianlah Hyang Siwa pada setiap mahluk hidup / pada ia yang melaksanakan yoga Hyang siwa menampakkan diri //.
Mpu Kanwa pasti tidak sembarang memilih bulan sebagai contoh dalam karya sastranya. Bulan yang lembut dan air yang heneng hening dan suci adalah pertemuan yang harmoni yang sangat didambakan oleh para rokhaniawan.
Dan surya sebagai sumber cahaya adalah seorang "Bapa" yang memberi cahaya kepada siapapun juga. Dan manusia yang pada hakikatnya adalah "Cahaya" itu, sesungguhnya ingin manunggal dengan Sang Maha Cahaya.
Benda-benda bersinar dilangit, Windhu, Indu dan yang lain adalah pusat orientasi dan konsentrasi kita. Kemuliaan kita tuangkan ke dalam aksara OM, bijaksana eka-akasara, aksara suci yang menggambarkan tentang alam semesta, hukum alam semesta (Rt (baca; Reta), Dharma), lagu alam semesta, lagu Tuhan (nada Brahma).
Cahaya dan kenirmalam, keheningan dan kecemerlangan adalah satu kemangunggalan, satu keharmonisan. Oleh karena itu segala aktivitas keagamaan yang dilakukan berdasarkan kesucian, untuk mendapatkan kesucian yang memancarkan cahaya Hyang Widhi. Tamaso ma jyotir gamaya ; Dari kegelapan semoga kita dituntun ke jalan yang disinari-Nya. Sumber bacaan buku Wija Kasawur (2) Ki Nirdon. (RANBB)