Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Jumat, 28 September 2018

Orang Hindu Bali itu Orang yang Sensi, Sensitif

Sebuah Opini .
Togog Arca Dwarapala
Sabda Bayu Idep
Artinya, orang yang sangat peka, detil, terkadang orang awam berpikir Orang Bali Mudah Tersinggung. Dalam kehidupan orang Bali yang penuh dengan Seni, dibutuhkan rasa seni, sensitif terhadap seni. Rasa seni dipengaruhi oleh Agama Hindu yang Berbudaya. Semua kegiatan keagamaan selalu ada Seninya.

Seni Megambel
Dalam Megambel atau seni bermain musik tradisional Bali atau Gamelan, para pemainnya dituntut memiliki sensitifitas pada syaraf pendengarannya. Dimana dalam Gamelan tradisional ini memiliki 5 nada atau Slendro, yaitu Nang, Nung, Neng Nong, Ning. Sehingga pendengaran kita diharapkan sensitif dalam menerima frekwensi nada-nada ini, mampu membedakan setiap suara yang dihasilkan oleh bilah-bilah kuningan bila dipukul. Ada pula gamelan yang berbahan tembaga dan rejasa (timah putih). 

Harmonisasi suara menjadi daya tarik dari bermain gamelan ini, setiap pemain memiliki sensitifitas yang berbeda. Bagi yang telah menguasai seni megambel ini akan sangat mudah mendengar secara detail nada-nada yang dipukul oleh pemain lainya.



  • Seni Menari : Sensitifitas gerakan
  • Seni Metanding Banten : Sensitifitas terhadap Komposisi Warna dan Bentuk
  • Seni Mekidung, Megeguntangan : sensitifitas Suara dan Telinga
  • Seni Memasak : Sensitifitas terhadap rasa, warna, bentuk

Apalagi Upakara dan Upacara : Penjor, Wastra Pelinggih, dll

Sensi, lebih tepat rasa sensitif ini secara alam bawah sadar terbawa dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan dalam bermasyarakatini, sehingga tidak jarang Orang Bali itu cepat tersinggung. Kita bicara A terkadang terdengar A+ , sehingga terjadilah hal-hal yang berbeda pendapat. Lebih-lebih dewasa ini kita yang sudah berusia 30 tahun keatas adalah orang-orang yang Gaptek, Gagap Teknologi, sehingga harus kembali “dipaksa” untuk berkomunikasi menggunakan teknologi.

Dengan memahami diri, berarti kita memahami orang lain, memahami lingkungan tempat kita bermasyarakat, sehingga sudah sepatutnya kita Berkata yang Baik, Berprilaku yang Baik, Berpikir yang Baik. (Trikaya Parisudha). Lalu apakah kita harus seni  ? 

Pancapagendha, Dewawigraha, dan Nyasa

Apa sebabnya pelaksanaan yajna umat Hindu itu selalu menarik siapa saja. Atau dengan kata lain, selalu dapat ngawrediang rasa lulut akung, mwang panrasa agama. Jawabannya adalah karena pada dasarya persembahan dan pemujaan atau yajna umat Hindu itu adalah menggunakan pancapagendha, lima unsur seni sebagai sadhana bhakti, yang merupakan pengejawantahan konsep ajaran filasafat, tattwa dan nyasa. Atau dengan kata lain konsep ajaran sastra-sastra agama itu, mulai dari sruti, smrthi, dharmasastra, terutama dalam ajaran Upaweda, (Ithiasa, Purana, dan Nibandha), diwujud nyatakan, dipersonifikasikan dalam wujud pascapagendha itu, sehingga lebih mudah untuk dilihat, dimengerti bagi masyarakat pada umumnya, dalam penghayatan ajaran agama yang immanent, yang merupakan awal untuk mencapai tujuan agama yang transedental, Atau dengan kata lain, pelaksanaan hidup dan kehidupan keagamaan secara sekala, merupakan jalan awal untuk mencapai tujuan agama niskala.

Kelima unsur seni dalam konsep Pancapagendha, yang dipersembahkan sebagai sadhana bhakti adalah sebagai berikut:

1. Seni Sastra
Ithiasa, Wiracarita, Purana (Manapurana dan upapurana) pada dasarnya adalah penjabaran Sang Hyang Catur Weda Jangkep, (Samaweda, Regweda, Yayurweda, dan Atharwaweda). Di Bali ditulis dalam riptaprasasti (lontar-lontar Tattwa, Tutur, Wariga, Babad, Gaguritan, Kidung, Kakawin, termasuk lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Bebantenan, yang pada umumnya adalah merupakan sumber petunjuk dan tuntunan keempat unsur pancapagendha lainnya.

2. Seni Vokal
Gaguritan, Kidung, Kakawin, Palawakya, sampai yang merupakan chanda (Guru Lau), rapalan mantra, stuti, stava Ida Padanda saat mapuja, mulai dari saat Nyuryasewana, sampai muput karya/ yajna tertentu. Termasuk juga rapalan saat para Pamangku saat nganteb, adalah tergolong chanda, seni vocal.

3. Seni Instrumen
Berbagai perangkat gamelan, seperti gong, angklung, saron, smara pagulingan, gambang, gender wayang, salonding, dendengkuk, gong beri, dan lain sebagainya.

4. Seni Gerak
Berbagai sasolahan atau tari, mulai dari tari Wali, Tari Babali, dan Tari Balih-balihan. Tari Wali dan Tari Babali adalah tergolong tari sakral. Tari Wali merupakan bagian dari pelaksanaan upacara seperti berbagai jenis tari Rejang yang telah dikemukakan, tari Pendet, pada saat ngaturan prani, berbagai tari Baris (kecuali Baris Provan), sedangkan tari Babali adalah sebagai penunjang upacara, seperti Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, Mabhisama, atau Kincang-kincung. Sedangkan tari Balih-balihan adalah pagelaran tari yang semata-mata bersifat hiburan, seperti Topeng Prembon, Arja, Wayang, Joged Bumbung, Drama Gong, dan sebagainya.

5. Seni Rupa
Adalah hasil karya seni lukis (chitralekha), berbagai Rerajahan dan Sasuratan, seperti telah dikemukakan. Termasuk seni pahat dan seni bangun. Gabungan antara seni lukis, seni pahat dan seni bangun dalam wujud banten disebut seni kriya seperti Sarad dan Kokudian Wadah. Sasuratan dalam tatacara agama masyarakat umat Hindu di Bali, memiliki konotasi yang hanya digunakan dalam upacara Panca Yajna. Sedangkan Rerajahan memiliki konotasi yang hanya digunakan data lontar-lontar pregolan, seperti tumbal, sasuwuk, tataneman, babuntilan, pangimpas-pangimpas dan sahanan pangraksa. Tetapi adakalanya disamakan di masyarakat yang disebut seni Kaligrafi.

Contoh Sasuratan adalah berbagai Sasuratan Tunggul (kober caru sampai tawur, seperti yang telah dikemukakan), sedangkan untuk Rerajahan pregolan luar biasa banyaknya.
Kalau Sasuretan, pewayangan gambarnya, berdasarkan acuan dan tuntunan yang baku. Demikian pula wijaksara yang digunakan cenderung sama dari Ekaksara (aksara pranawa). Dwiaksara, Triaksara, Panca Brahma, Dasaksara, Eka Dasaksara, sampai Sodasakara (sastra Nembelas). Sedangkan Rarajahan pragolan, pewayangan gambarnya, walaupun ada juga diambil dari dewa-dewi, bhuta kala, tetapi telah diubah gerak, unsur dan strukturnya, (laksanan, polah, wrayang), sesuai dengan pengetahuan esoteris penciptanya. Termasuk penggunaan aksara Modre (Aksara mati, sane mapangangge) sangat beragam, luar biasa banyaknya, berdasarkan pengalaman esoteris, sebagai obyek pemusatan konsentrasi para penganut dan pengamalnya saat melakukan pengarcanan, untuk mencapai tujuan-tujuan niskala, dengan dasar ajaran pregolan itu.

Sasuratan yang paling banyak digunakan, adalah dalam upacara pengabenan, seperti sasuratan kajang, kereb sari, ulon wadah, ilih, sasenden, tulang, entud, kulambi, payuk tirta pangentas, tirtha pangelukatan, kertas ulantaga dan banyak lagi yang lainnya, yang tidak mungkin akan dibahas dalam pertemuan dengan waktu yang sesingkat ini.

Termasuk chitralekha kober yang lukisan pokoknya, berlukiskan hanoman atau garuda, Juga umbul-umbul yang berlukiskan naga, (naga anantabhoga, naga basuki, naga taksaka, naga sesa, naga gembang, naga ailapatra), adalah chitralekha, memiliki ajaran filsafat konseptual. Termasuk kober wijaksara, pada pengawin panawa sangan, semuanya konseptual, yang tidak boleh asal buat saja. Khusus untuk kober, selain lukisan pokoknya adalah berkepatutan hanoman atau garuda, yang merupakan nyasa shakti mwang kamolihan, sering juga, digambar dengan plawage yang lainnya seperti Kapiraja Sugriwa, Kapi Kenda, Anggada, Anala, Kapi Sempati, Kapi jembawan, dan lain-lainnya. Pasangannya adalah para dhanuja, antara lain adalah Patih Prahasata, Pragalba, Jambulmangli, Trisiroh, Wil Kampanu, Sukasrana, Ravana, Kumbakarna, semuanya adalah me-nyasa-kan konsep ajaran rwabhineda, antara dharma dan adharma. Kober juga sering digambarkan dengan profil Gunawan Wibhisana, adik bungsu Prabu Dasamuka atau Ravana, yang merupakan nyasa tokoh panyelah, yang selalu satyengdharma, sehingga selaku pengejawantahan sikap dan prilaku satyeng dharma ini, sekalipun dharma itu berada di pihak musuh, figur atau tokoh panyelah ini tidak segan-segan mengabdi kepada musuh yang menjunjung tinggi kebenaran sabatana dharma itu.

Terlalu banyak kalau diungkapkan konsep-konsep ajaran flisafat, tatwa dan nyasa pada unsur sasuratan, rarajahan dan chitralekha, sebagai unsur sadhana bhakti masyarakat umat Hindu saat melakukan persembahyangan dan pemujaan yajna, dalam hidup dan kehidupannya sebagai pengejawantahan ajaran dharma untuk mencapai tujuan dharma itu sendiri.

Yang terakhir adalah persembahan sangging maranggi dan undagi maranggi dalam konsep pancapagendha ini, dan dalam wujud seni arca pada khususnya, yang akhir-akhir ini sering menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penggunaannya.

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive