Menjadi Hindu Lebih Baik
*Menjadi
Lebih baik* kenapa kok bukan *menjadi
yang terbaik?* pertanyaan sederhana yang mungkin terbersit
dalam benak para pembaca sekalian. Ada suatu pesan moral dari rangkaian tiga
kata tersebut.
Menjadi lebih baik berarti kita menyadari sepenuhnya bahwa lawan kita adalah diri kita sendiri,
adalah perbuatan kita satu detik, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun
atau satu kelahiran yang telah lalu. Ingat, musuh utama kita adalah diri kita
sendiri, ragadi musuh mapara ri hatya yo tonguanya
tan madoh reng awak. Jadi perang yang sesungguhnya adalah berperang dengan
diri kita sendiri, yaitu dengan enam sifat bawaan yang kita bawa sejak lahir yaitu Sad Ripu.
Sifat – sifat tersebut hanya perlu di kendalikan, dan tidak untuk dihilangkan. Sifat – sifat tersebut jika mampu kita kendalikan,
maka ia akan mengantarkan kita pada tujuan (kemuliaan) tertinggi namun
jika ia tidak
terkendali dan bergerak secara liar maka ia pula yang akan mengantarkan kita
pada jurang penderitaan (kenistaan) yang paling rendah. *kāma eṣa krodha eṣa rajo-guṇa-samudbhavaḥ, mahāśano mahā-pāpmā viddhy enam
iha vairiṇam* nafsu dan amarah yang lahir dari
Raja Guna sangat merusak dan penuh dosa, ketahuilah bahwa keduanya itu adalah
musuh utama di bumi yang sangat merusak (Gita.III.37).
Jika kita ingin
menjadi yang terbaik, maka lawan kita adalah saudara kita, teman kita, atasan
atau bawahan kita, kesimpulannya adalah mereka – mereka yang ada di luar kita.
Saat kita memilki keinginan untuk mengalahkan mereka agar kita menjadi yang
terbaik dalam hal apapun itu, maka disana mungkin dan hampir pasti
akan ada ketidak jujuran, akan ada kekerasan, akan ada penyiksaan
(himsa), dan bahkan mungkin juga akan ada
pembunuhan.
Oleh karena itu, saya mengajak bapak ibu
dan saudara – saudara sekalian untuk *menjadi lebih baik*. Didepan sudah disampaikan bahwa salah satu sebab kita terlahir kembali
adalah karena kekurangan kita, karena ketidak sempurnaan kita, *doṣo 'pyasti guna
'pyasti, nir doṣa naiva jayate, kardamādiva padmasya nāle doṣo 'sti kaṇṭakaiḥ*, bahwa manusia
lahir tidak ada yang sempurna, ada kekurangannya dan
ada juga kelebihannya,
seperti bunga seroja yang tumbuh di lumpur dahannya bersalah karena memiliki
duri halus yang membuat gatal (Slokantara sloka 79).
Sloka
tersebut *tidak* mengajarkan kita untuk menyerah pada nasib (takdir)
dan menjadikan sloka tersebut sebagai senjata pada saat kita melakukan
kesalahan, tetapi *harus* memacu kita untuk
bisa mengalahkan semua kelemahan -
kelemahan yang ada dalam diri kita agar kita dapat
meningkatkan Kualitas diri untuk menjadi lebih
baik.
Sloka tersebut juga mengajarkan kepada
kita tentang
kerendahan hati agar tidak merasa
paling bisa, tidak merasa paling pintar, dan tidak merasa
paling benar.
.asapunike dumun semeton, Oṁ Śāntiḥ śāntiḥ śāntiḥ Oṁ, suksma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu