Pancapagendha, Dewawigraha, dan Nyasa
Om
Swastiastu;
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ;
semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru
Pinandita
Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati
Yang
saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar
Yang
saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug
Yang
saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug
Dan
Umat Sedharma yang berbahagia.
Pada
hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Pancapagendha, Dewawigraha, dan Nyasa
Pertama-tama
saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
Sesuhunan Yang Melinggih di Pura
Dharma Sidhi karena atas waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir
dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.
Bapak-Ibu
Umat Sedharma yang berbahagia;
Apa
sebabnya pelaksanaan yajna umat Hindu itu selalu menarik siapa saja. Atau
dengan kata lain, selalu dapat ngawrediang rasa lulut akung, mwang panrasa
agama. Jawabannya adalah karena pada dasarnya persembahan dan pemujaan atau
yajna umat Hindu itu adalah menggunakan pancapagendha.
Pancapagendha
adalah lima unsur seni sebagai sadhana bhakti, yang merupakan pengejawantahan
konsep ajaran filasafat, tattwa dan nyasa. Atau dengan kata lain konsep ajaran
sastra-sastra agama itu, mulai dari sruti, smrthi, dharmasastra, terutama dalam
ajaran Upaweda, (Ithiasa, Purana, dan Nibandha), diwujud nyatakan,
dipersonifikasikan dalam wujud pascapagendha itu.
Sehingga
lebih mudah untuk dilihat, dimengerti bagi masyarakat pada umumnya, dalam
penghayatan ajaran agama yang immanent,
yang merupakan awal untuk mencapai tujuan agama yang transedental, Atau dengan kata lain, pelaksanaan hidup dan
kehidupan keagamaan secara sekala,
merupakan jalan awal untuk mencapai tujuan agama niskala.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Kelima unsur seni dalam konsep Pancapagendha, yang dipersembahkan sebagai
sadhana bhakti adalah sebagai berikut:
1. Seni Sastra
Ithiasa, Wiracarita, Purana (Manapurana dan upapurana) pada dasarnya adalah
penjabaran Sang Hyang Catur Weda Jangkep, (Samaweda, Regweda, Yayurweda, dan
Atharwaweda). Di Bali ditulis dalam riptaprasasti (lontar-lontar Tattwa, Tutur,
Wariga, Babad, Gaguritan, Kidung, Kakawin, termasuk lontar-lontar Mpu Lutuk dan
Prembon Bebantenan, yang pada umumnya adalah merupakan sumber petunjuk dan
tuntunan keempat unsur pancapagendha lainnya.
2. Seni Vokal
Gaguritan, Kidung, Kakawin, Palawakya, sampai yang merupakan chanda (Guru Lagu),
rapalan mantra, stuti, stava Ida Padanda saat mapuja, mulai dari saat Nyurya sewana,
sampai muput karya/ yajna tertentu. Termasuk juga rapalan saat para Pamangku
saat nganteb, adalah tergolong chanda, seni vocal.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
3. Seni Instrumen
Berbagai perangkat gamelan, seperti gong, angklung, saron, smara pagulingan,
gambang, gender wayang, salonding, dendengkuk, gong beri, dan lain sebagainya.
4. Seni Gerak
Berbagai sasolahan atau tari, mulai dari tari Wali, Tari Babali, dan Tari
Balih-balihan. Tari Wali dan Tari Babali adalah tergolong tari sakral. Tari
Wali merupakan bagian dari pelaksanaan upacara seperti berbagai jenis tari
Rejang yang telah dikemukakan, tari Pendet, pada saat ngaturan prani, berbagai
tari Baris (kecuali Baris Provan), sedangkan tari Babali adalah sebagai
penunjang upacara, seperti Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, Mabhisama, atau
Kincang-kincung.
Sedangkan
tari Balih-balihan adalah pagelaran tari yang semata-mata bersifat hiburan,
seperti Topeng Prembon, Arja, Wayang, Joged Bumbung, Drama Gong, dan
sebagainya.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
5. Seni Rupa
Adalah hasil karya seni lukis (chitralekha),
berbagai Rerajahan dan Sasuratan, seperti telah dikemukakan. Termasuk seni
pahat dan seni bangun. Gabungan antara seni lukis, seni pahat dan seni bangun
dalam wujud banten disebut seni kriya seperti Sarad dan Kokudian Wadah.
Sasuratan
dalam tatacara agama masyarakat umat Hindu di Bali, memiliki konotasi yang
hanya digunakan dalam upacara Panca Yajna. Sedangkan Rerajahan memiliki
konotasi yang hanya digunakan data lontar-lontar pregolan, seperti tumbal,
sasuwuk, tataneman, babuntilan, pangimpas-pangimpas dan sahanan pangraksa.
Contoh
Sasuratan adalah berbagai Sasuratan Tunggul (kober caru sampai tawur, seperti
yang telah dikemukakan), sedangkan untuk Rerajahan pregolan luar biasa
banyaknya.
Kalau Sasuretan, pewayangan gambarnya, berdasarkan acuan dan tuntunan yang
baku. Demikian pula wijaksara yang digunakan cenderung sama dari Ekaksara
(aksara pranawa). Dwiaksara, Triaksara, Panca Brahma, Dasaksara, Eka Dasaksara,
sampai Sodasakara (sastra Nembelas).
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Sedangkan
Rarajahan pragolan, pewayangan gambarnya, walaupun ada juga diambil dari
dewa-dewi, bhuta kala, tetapi telah diubah gerak, unsur dan strukturnya,
(laksanan, polah, wrayang), sesuai dengan pengetahuan esoteris penciptanya.
Termasuk
penggunaan aksara Modre (Aksara mati, sane mapangangge) sangat beragam, luar
biasa banyaknya, berdasarkan pengalaman esoteris, sebagai obyek pemusatan
konsentrasi para penganut dan pengamalnya saat melakukan pengarcanan, untuk
mencapai tujuan-tujuan niskala, dengan dasar ajaran pregolan itu.
Sasuratan
yang paling banyak digunakan, adalah dalam upacara pengabenan, seperti
sasuratan kajang, kereb sari, ulon wadah, ilih, sasenden, tulang, entud,
kulambi, payuk tirta pangentas, tirtha pangelukatan, kertas ulantaga dan banyak
lagi yang lainnya, yang tidak mungkin akan dibahas dalam pertemuan dengan waktu
yang sesingkat ini.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Termasuk chitralekha kober yang
lukisan pokoknya, berlukiskan hanoman atau garuda, Juga umbul-umbul yang
berlukiskan naga, (naga anantabhoga, naga basuki, naga taksaka, naga sesa, naga
gembang, naga ailapatra), adalah chitralekha, memiliki ajaran filsafat
konseptual. Termasuk kober wijaksara, pada pengawin panawa sangan, semuanya
konseptual, yang tidak boleh asal buat saja.
Khusus
untuk kober, selain lukisan pokoknya adalah berkepatutan hanoman atau garuda,
yang merupakan nyasa shakti mwang kamolihan, sering juga, digambar dengan
plawage yang lainnya seperti Kapiraja Sugriwa, Kapi Kenda, Anggada, Anala, Kapi
Sempati, Kapi jembawan, dan lain-lainnya.
Pasangannya
adalah para dhanuja, antara lain adalah Patih Prahasata, Pragalba,
Jambulmangli, Trisiroh, Wil Kampanu, Sukasrana, Ravana, Kumbakarna, semuanya
adalah me-nyasa-kan konsep ajaran rwabhineda, antara dharma dan adharma.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Kober
juga sering digambarkan dengan profil Gunawan Wibhisana, adik bungsu Prabu
Dasamuka atau Ravana, yang merupakan nyasa tokoh panyelah, yang selalu
satyengdharma, sehingga selaku pengejawantahan sikap dan prilaku satyeng dharma
ini, sekalipun dharma itu berada di pihak musuh, figur atau tokoh panyelah ini
tidak segan-segan mengabdi kepada musuh yang menjunjung tinggi kebenaran
sabatana dharma itu.
Terlalu
banyak kalau diungkapkan konsep-konsep ajaran flisafat, tatwa dan nyasa pada
unsur sasuratan, rarajahan dan chitralekha, sebagai unsur sadhana bhakti
masyarakat umat Hindu saat melakukan persembahyangan dan pemujaan yajna, dalam
hidup dan kehidupannya sebagai pengejawantahan ajaran dharma untuk mencapai
tujuan dharma itu sendiri.
Umat Sedharma yang
berbahagia;
Harapan
saya dari apa yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat
bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana
ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang
tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu