Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Translate

Jumat, 25 April 2025

Pancapagendha, Dewawigraha, dan Nyasa

 Pancapagendha, Dewawigraha, dan Nyasa

 

Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 


Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.

 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Pancapagendha, Dewawigraha, dan Nyasa

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Apa sebabnya pelaksanaan yajna umat Hindu itu selalu menarik siapa saja. Atau dengan kata lain, selalu dapat ngawrediang rasa lulut akung, mwang panrasa agama. Jawabannya adalah karena pada dasarnya persembahan dan pemujaan atau yajna umat Hindu itu adalah menggunakan pancapagendha.



Pancapagendha adalah lima unsur seni sebagai sadhana bhakti, yang merupakan pengejawantahan konsep ajaran filasafat, tattwa dan nyasa. Atau dengan kata lain konsep ajaran sastra-sastra agama itu, mulai dari sruti, smrthi, dharmasastra, terutama dalam ajaran Upaweda, (Ithiasa, Purana, dan Nibandha), diwujud nyatakan, dipersonifikasikan dalam wujud pascapagendha itu.

 

Sehingga lebih mudah untuk dilihat, dimengerti bagi masyarakat pada umumnya, dalam penghayatan ajaran agama yang immanent, yang merupakan awal untuk mencapai tujuan agama yang transedental, Atau dengan kata lain, pelaksanaan hidup dan kehidupan keagamaan secara sekala, merupakan jalan awal untuk mencapai tujuan agama niskala.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;


Kelima unsur seni dalam konsep Pancapagendha, yang dipersembahkan sebagai sadhana bhakti adalah sebagai berikut:


1. Seni Sastra


Ithiasa, Wiracarita, Purana (Manapurana dan upapurana) pada dasarnya adalah penjabaran Sang Hyang Catur Weda Jangkep, (Samaweda, Regweda, Yayurweda, dan Atharwaweda). Di Bali ditulis dalam riptaprasasti (lontar-lontar Tattwa, Tutur, Wariga, Babad, Gaguritan, Kidung, Kakawin, termasuk lontar-lontar Mpu Lutuk dan Prembon Bebantenan, yang pada umumnya adalah merupakan sumber petunjuk dan tuntunan keempat unsur pancapagendha lainnya.


2. Seni Vokal


Gaguritan, Kidung, Kakawin, Palawakya, sampai yang merupakan chanda (Guru Lagu), rapalan mantra, stuti, stava Ida Padanda saat mapuja, mulai dari saat Nyurya sewana, sampai muput karya/ yajna tertentu. Termasuk juga rapalan saat para Pamangku saat nganteb, adalah tergolong chanda, seni vocal.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;


3. Seni Instrumen


Berbagai perangkat gamelan, seperti gong, angklung, saron, smara pagulingan, gambang, gender wayang, salonding, dendengkuk, gong beri, dan lain sebagainya.


4. Seni Gerak


Berbagai sasolahan atau tari, mulai dari tari Wali, Tari Babali, dan Tari Balih-balihan. Tari Wali dan Tari Babali adalah tergolong tari sakral. Tari Wali merupakan bagian dari pelaksanaan upacara seperti berbagai jenis tari Rejang yang telah dikemukakan, tari Pendet, pada saat ngaturan prani, berbagai tari Baris (kecuali Baris Provan), sedangkan tari Babali adalah sebagai penunjang upacara, seperti Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, Mabhisama, atau Kincang-kincung.

 

Sedangkan tari Balih-balihan adalah pagelaran tari yang semata-mata bersifat hiburan, seperti Topeng Prembon, Arja, Wayang, Joged Bumbung, Drama Gong, dan sebagainya.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;


5. Seni Rupa


Adalah hasil karya seni lukis (chitralekha), berbagai Rerajahan dan Sasuratan, seperti telah dikemukakan. Termasuk seni pahat dan seni bangun. Gabungan antara seni lukis, seni pahat dan seni bangun dalam wujud banten disebut seni kriya seperti Sarad dan Kokudian Wadah.

 

Sasuratan dalam tatacara agama masyarakat umat Hindu di Bali, memiliki konotasi yang hanya digunakan dalam upacara Panca Yajna. Sedangkan Rerajahan memiliki konotasi yang hanya digunakan data lontar-lontar pregolan, seperti tumbal, sasuwuk, tataneman, babuntilan, pangimpas-pangimpas dan sahanan pangraksa.

 

Contoh Sasuratan adalah berbagai Sasuratan Tunggul (kober caru sampai tawur, seperti yang telah dikemukakan), sedangkan untuk Rerajahan pregolan luar biasa banyaknya.


Kalau Sasuretan, pewayangan gambarnya, berdasarkan acuan dan tuntunan yang baku. Demikian pula wijaksara yang digunakan cenderung sama dari Ekaksara (aksara pranawa). Dwiaksara, Triaksara, Panca Brahma, Dasaksara, Eka Dasaksara, sampai Sodasakara (sastra Nembelas).

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Sedangkan Rarajahan pragolan, pewayangan gambarnya, walaupun ada juga diambil dari dewa-dewi, bhuta kala, tetapi telah diubah gerak, unsur dan strukturnya, (laksanan, polah, wrayang), sesuai dengan pengetahuan esoteris penciptanya.

 

Termasuk penggunaan aksara Modre (Aksara mati, sane mapangangge) sangat beragam, luar biasa banyaknya, berdasarkan pengalaman esoteris, sebagai obyek pemusatan konsentrasi para penganut dan pengamalnya saat melakukan pengarcanan, untuk mencapai tujuan-tujuan niskala, dengan dasar ajaran pregolan itu.

Sasuratan yang paling banyak digunakan, adalah dalam upacara pengabenan, seperti sasuratan kajang, kereb sari, ulon wadah, ilih, sasenden, tulang, entud, kulambi, payuk tirta pangentas, tirtha pangelukatan, kertas ulantaga dan banyak lagi yang lainnya, yang tidak mungkin akan dibahas dalam pertemuan dengan waktu yang sesingkat ini.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;


Termasuk chitralekha kober yang lukisan pokoknya, berlukiskan hanoman atau garuda, Juga umbul-umbul yang berlukiskan naga, (naga anantabhoga, naga basuki, naga taksaka, naga sesa, naga gembang, naga ailapatra), adalah chitralekha, memiliki ajaran filsafat konseptual. Termasuk kober wijaksara, pada pengawin panawa sangan, semuanya konseptual, yang tidak boleh asal buat saja.

 

Khusus untuk kober, selain lukisan pokoknya adalah berkepatutan hanoman atau garuda, yang merupakan nyasa shakti mwang kamolihan, sering juga, digambar dengan plawage yang lainnya seperti Kapiraja Sugriwa, Kapi Kenda, Anggada, Anala, Kapi Sempati, Kapi jembawan, dan lain-lainnya.

 

Pasangannya adalah para dhanuja, antara lain adalah Patih Prahasata, Pragalba, Jambulmangli, Trisiroh, Wil Kampanu, Sukasrana, Ravana, Kumbakarna, semuanya adalah me-nyasa-kan konsep ajaran rwabhineda, antara dharma dan adharma.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Kober juga sering digambarkan dengan profil Gunawan Wibhisana, adik bungsu Prabu Dasamuka atau Ravana, yang merupakan nyasa tokoh panyelah, yang selalu satyengdharma, sehingga selaku pengejawantahan sikap dan prilaku satyeng dharma ini, sekalipun dharma itu berada di pihak musuh, figur atau tokoh panyelah ini tidak segan-segan mengabdi kepada musuh yang menjunjung tinggi kebenaran sabatana dharma itu.



Terlalu banyak kalau diungkapkan konsep-konsep ajaran flisafat, tatwa dan nyasa pada unsur sasuratan, rarajahan dan chitralekha, sebagai unsur sadhana bhakti masyarakat umat Hindu saat melakukan persembahyangan dan pemujaan yajna, dalam hidup dan kehidupannya sebagai pengejawantahan ajaran dharma untuk mencapai tujuan dharma itu sendiri.

Umat Sedharma yang berbahagia;

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive