Bali Menggugat |
TRUNYAN, sebuah desa di pinggir Danau Batur, semula adalah desa yang unik. Pernah ada diskusi panjang tentang bagaimana kita menangani Desa Trunyan, bagaimana kita membina masyarakat di sana, termasuk kesejahteraan dan pendidikan warganya. Apa yang harus kita lakukan untuk mengangkat martabat orang Trunyan sehingga mereka sejajar dan punya hak serta kewajiban sama sebagai warga negara.
Ini tidak mudah karena ada maksud pemerintah ingin melestarikan adat istiadat untuk kepentingan pariwisata.
Ada kasus yang bisa dijadikan contoh dari luar Trunyan. Yang pertama, masyarakat Papua. Orang Papua di masa lalu masih tergolong [atau digolongkan] primitif, hanya memakai koteka untuk kesehariannya. Apakah kita tega melihat itu, sementara di daerah lain sudah begitu maju? Dari sudut lain, kalau rakyat Papua meninggalkan kotekanya, lalu apa obyek pariwisata di pulau ini? Masyarakat Papua pun dipersilakan memilih dam mereka memilih untuk "ikut maju bersama saudara lainnya". Koteka ditinggalkan sebagai "busana harian" tetapi tetap dilestarikan sebagai cindera mata.
Ini tidak mudah karena ada maksud pemerintah ingin melestarikan adat istiadat untuk kepentingan pariwisata.
Ada kasus yang bisa dijadikan contoh dari luar Trunyan. Yang pertama, masyarakat Papua. Orang Papua di masa lalu masih tergolong [atau digolongkan] primitif, hanya memakai koteka untuk kesehariannya. Apakah kita tega melihat itu, sementara di daerah lain sudah begitu maju? Dari sudut lain, kalau rakyat Papua meninggalkan kotekanya, lalu apa obyek pariwisata di pulau ini? Masyarakat Papua pun dipersilakan memilih dam mereka memilih untuk "ikut maju bersama saudara lainnya". Koteka ditinggalkan sebagai "busana harian" tetapi tetap dilestarikan sebagai cindera mata.
Kasus kedua adalah Suku Baduy. Mereka terisolir dengan adat yang ketat. Dilihat dengan kacamata kehidupan modern, mereka terbelakang, miskin, walaupun luar biasa polosnya. Apakah mereka tidak ingin maju seperti saudara-saudaranya yang lain? Ternyata tidak, terutama bagi Suku Baduy Dalam. Sampai sekarang pun mereka ketat dengan aturan adatnya, termasuk hasil tenunannya. Uniknya, mereka mempertahankan budaya ini tanpa ada maksud menggaet wisatawan. Wisatawan mau datang ke kampung mereka atau tidak, sama sekali mereka tak peduli. Baca Artikel Perjalanan Rare ke Baduy Dalam.
Desa Trunyan, mau dijadikan model yang mana? Kalau mau jadi "model Papua", masyarakat di sana memang harus diberdayakan, pendidikan dan kursus-kursus dibuat. Jika pendidikan maju dan penduduk asli terbuka wawasannya dengan dunia luar, barangkali pemahaman akan tradisi dan kaitannya dengan keyakinan tertentu akan mereka kaji ulang. Bisa saja mereka mempertahankan keyakinan tidak menguburkan jenasah, tetapi harus dicarikan pijakannya dari sudut agama. Apakah itu keyakinan Hindu atau keyakinan pra-Hindu yang bukan dari ajaran kitab suci Hindu? Resikonya, pasti akan ada perubahan budaya, dan kalau itu berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan, sesuatu yang tak bisa dihindari.
Namun, kalau Trunyan dijadikan "model Baduy", orang luar termasuk pemerintah harus hormat kepada tradisi setempat. Jika model ini dipilih, pemerintah bisa bertindak lebih jauh lagi, menjadikan kawasan Trunyan sebagai Cagar Budaya. Pilihan ini tentu harus dirundingkan dengan pemuka dan para "local jenius" setempat. Karena resikonya besar, kalau sampai berstatus Cagar Budaya (ini kalau diterima) segala perubahan harus meminta izin. Dampaknya, orang luar akan tetap datang berkunjung karena mereka akan menikmati kawasan yang beda, tiada duanya.
Celakanya adalah sudah sejak lama Desa Trunyan ditangani tanpa konsep mau dibawa ke mana. Leluhur penduduk asli di sana pastilah bukan beragama Hindu, mereka memegang keyakinan setempat. Pada abad XIV desa ini sudah didatangi oleh penyebar agama Hindu dari Kerajaan Gelgel. Para penyebar agama ini tidak berhasil mengubah tradisi setempat, namun sukses menyeragamkan sebutan dewa-dewa yang dipuja di sana dengan dewa-dewa di luar Trunyan.
Upaya "meng-Hindu-kan" warga Trunyan terus berlangsung
setelah Indonesia merdeka sampai di masa Orde Baru, bahkan sampai saat ini. Simbol-simbol Hindu dikirim ke sana, candi bentar, bangunan suci dari bahan modern seperti semen, juga banten-banten. Bahkan para Sulinggih. Hasilnya, warga Trunyan mengenal leluhur yang mereka puja dengan sebutan Ratu Sakti Pancering Jagat, sebuah istilah yang khas Bali. Padahal warga asli Trunyan di masa lalu menyebut leluhur tertinggi yang mereka puja itu Da Tonta, yang berarti "Tuhan kita". Dan sebutan-sebutan khas Hindu versi Bali pun mau tak mau diikuti masyarakat Trunyan.
Lantas bagaimana dengan kuburan (setra wayah) di mana tengkorak bertebaran? Keyakinan pra-Hindu ini tidak dicoba untuk dicarikan rujukannya dalam Hindu. Jika ada orang bertanya, apakah konsep penguburan di Trunyan itu sesuai Hindu atau tidak, pasti jawabannya mengambang. Kalau yang bertanya itu kritis lantas menohok ke pertanyaan mendasar, agama apa yang dipeluk warga Desa Trunyan, maka jawabannya pun juga mengambang.
Situasi mengambang ini terjadi pula pada warga Trunyan, sehingga mereka sebenarnya tak punya sikap mau diapakan tengkorang-tengkorak yang ada di kuburan itu? Tradisi setempat tidak mengatur hubungan antara tengkorang dengan "pewaris tengkorak", karena begitu mayat ditaruh di kuburan tanpa ditanam, hubungan mereka putus. Penduduk Trunyan sendiri sering mempermainkan tengkorak itu untuk meminta sumbangan dari pelancong. Nah, kalau tiba-tiba ada orang mengambil satu atau dua tengkorak di kuburan Trunyan, siapakah yang harus disalahkan? Bagaimana mungkin penduduk Trunyan menjaga keburannya siang malam agar orang luar tak mencuri tengkorak, karena mereka sendiri tak punya keterikatan dengan tengkorak-tengkorak tanpa dikenali lagi identitasnya itu.
Begitulah, sebuah wacana yang sempat "membingungkan" mau diapakan warga Desa Trunyan.
TAPI, sekarang Desa Trunyan tak lagi terisolir. Terbukanya desa ini pada akses luar dengan adanya jalan tembus ke sana, apalagi listrik sudah lebih dulu ada, membuat perubahan yang terjadi di Trunyan mengalir begitu saja. Warga desa itu tak ada bedanya dengan penduduk Bali yang lain, beragama Hindu, melakukan ritual Hindu sebagai mana di desa lain. Hanya saja mereka tak punya Pura Tri Kahyangan yang terdiri dari Pura Desa (memuja Dewa Brahma), Pura Puseh (tempat memuja Dewa Wisnu) dan Pura Dalem (memuja Dewa Siwa). Mereka hanya punya satu pura untuk memuja Tuhan (yang dulu di sebut Da Tonta dan berganti menjadi Ratu Sakti Pancering Jagat) yang mereka sebut Pura Desa. Lalu kuburan yang unik tetap dipertahankan.
Artinya, mereka sama sekali tak merasa berbeda dengan penduduk Bali yang lain. Ada pun soal keunikannya (hanya punya satu pura di desa dan kuburan yang tak menanam atau membakar jenasah) adalah salah satu dari keunikan yang beragam pada desa-desa di Bali. Banyak terdapat desa yang unik di Bali dan belum tentu keunikan itu menarik wisatawan. Seperti halnya Trunyan, begitu desa ini tidak lagi terisolir, wisatawan pun menyurut drastis.
Kenapa turis menghilang dari Trunyan? Daya tarik Trunyan saat ini hanyalah kuburannya, di mana mayat tidak ditanam, apalagi dibakar sebagai mana di desa lain. Mayat hanya digeletakkan begitu saja. Mereka yang ingin melihat "obyek wisata" ini umumnya naik jukung dari dermaga Kedisan. Itu yang menyebabkan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, enggan datang ke Trunyan. Trunyan memang telah berubah, kecuali kuburannya. Entah sampai kapan.
Sumber bacaan buku Bali Menggugat oleh Putu Setia, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Pada 21 Agustus 2009, Putu Setia telah dinobatkan sebagai pendeta Hindu dengan gelar Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. (RANBB)