Sabtu, 31 Juli 2010

Krishna : Lesung Maka Serana Penyupatan

Sri Krisna
Cerita puniki wit saking Ida Sri Krishna daweg kantun alit. Malarapan antuk satwa puniki janten "Lesung" rawuh mangkin dados "mithos" kusumaning dresta adat sane kamanggehang antuk idesa parkraman.

Inggih duh Ida Sri Krishna kantun alit, janten swabhawane tan pendah kadi alit-alit sewosan; macanda, melaib, malih-alihan, gudip ngambil saluiring sida katemu muwah saka luir ipun. Ta kocap sedek rahina anu, Ida Sri Krishna ngambil susu lan mentega sane kagenahang singid antuk Ibun Ida. 

Katuju Ibunne nenten wenten ring Jroning Pasraman. Ri antuk genah susu lan mentega puniki singid mabriyok sami susune saha mentega punika makacakan. Tan pantara rawuh Ibune sarwi kalintang dukha ngatenang susu saha mentega makacakan.

Ida Sri Krisna kabanda, katalinin tangan Ida raris kategulang ring lesunge ageng mangda Sri Krishna nenten nyidayang memargi medal saking pasraman. RI sedek suwung pasramane, Ida Sri Krisna mrasidayang medal saking Pasraman yadiastun kantun tekek metali tangan Ida. 



Lesunge ageng punika paid Ida kandugi taline nyelimed punyan kayu ageng ring tepining pemedal Pasramane. Sangkaning swabhawa kawisesane saha siteng bayu pramanane, napi rebah wit taru ageng punika. Digelis wit tarune ageng punika magentos rupa dados Danawa saha nyembah ngaturang suksma ring Ida Sri Krisna:

 "Inggih Ratu, titiang Danawa metemahan dados Taru Ageng ri antuk titiang banget makta dosa, melaksana iwang, wantah nyantos Panyupatan Sri Paduka, lamakane prasida titiang sekadi jati mula malih, budal ke Danawa Bhawana." 

Sesampune ngaturang sembah raris anglayang ring gegana mantuk ke Danawa Loka.
Inggih asapunika "Lesung" maka sarana Panyupatan.

Dresta Sima Agama Olih Gst Agung Oka, Denpasar 1994

Selasa, 27 Juli 2010

Pitara di Ayatanasthana (Kisah Perjalanan Gaib Jaratkaru)

Aji Kelepasan
Jaratkaru 
Dalam catatan-catatan pustaka kuno, banyak disajikan ilmu-ilmu gaib yang fungsinya sebagai penuntun, agar manusia yang hidup dapat memasuki alam setelah kematian. Jadi melalui ilmu gaib tersebut alam setelah kematian tidak hanya menjadi monopoli dari mereka-mereka yang telah mati. Banyak orang suci Hindu yang dinyatakanntelah berhasil menguasai ilmu ini dan melalui catatan-catatan sastra kita dapat sedikit "mengintip" bagaimanakah keadaan alam tersebut. 

Seorang waskita yoga yang telah menguasai Aji Kalepasan dapat dalam hitungan sepersekian detik "pergi" memasuki alam setelah kematian, bahkan mereka sesungguhnya dapat pergi kemanapun keinginannya dalam sekejap mata.
Ada kisah menarik dari Sang Jaratkaru setelah ia mengalami realisasi tapa, orang suci ini sungguh berhasil menguasai ilmu gaib Aji Kalepasan, selanjutnya ia mengembara keberbagai dimensi alam. Kutipannya berikut ini :


" Samangkana ta Sang Jaratkaru magawe tapas, 

huwus pwa sira siddhi mantra, 

mahas ta sireng sarwa loka,

teka ring asing harep pinaran ira "

(Adiparwa)
Artinya :
"Setelah berhasil dalam tapa dan mendapatkan realisasinya (siddhi mantra = mantra manjur), ia mampu mamasuki setiap alam yang dikehendaki".


 
Pernyataan diatas menjelaskan bahwa seorang yogi seperti Jaratkaru setelah mendapatkan realisasi yoga (tapas) dapat pergi kemanapun kehendaknya, ia dapat memasuki alam para naga, para bhuta, yaksa, preta, apsara, siddha, Dewa, alam surga, alam neraka dan lain-lain.

 
Khusus dalam tulisan ini akan disajikan salah satu alam dari orang mati yang sempat dikunjungi oleh yogi Jaratkaru, alam ini disebut dengan Ayatanasthana.


"Kawawa sireng ayatanasthana, ikang loka pantaraning surga lawan neraka, kahanan ikang pitara mangapeksa karanantara, an panguli swarga naraka, ya tika kaliwatan de sang Jaratkaru".
Artinya :
"Ia berada di alam Ayatanasthana, alam ini berada di antara alam surga dan neraka, alam ini adalah alam para roh guna menunggu keputusan (dari Dewa Yama), apakah akan memasuki surga atau neraka, alam inilah yang dikunjungi oleh Sang Jaratkaru".

 
Disini dengan jelas dinyatakan bahwa diantara alam surga dan neraka ada alam lagi yang merupakan alam penantian para roh yang dinamakan dengan Ayatanasthana. Di Ayatanasthana inilah roh dari orang yang mati akan menunggu keputusan akherat, apakah akan masuk ke surga atau ke neraka. 


Tidak ada satupun perbuatan manusia yang dapat luput atau disembunyikan dari perhatian para "hakimnya" dan di alam ini keadilan tidak bisa ditawar-tawar seperti halnya di bumi. Alam inilah yang dimasuki oleh Sang Jaratkaru, di sana ia melihat sosok roh yang akan segera 'jatuh ke jurang neraka' kutipannya sebagai berikut :

Haneng Ayatanasthana hana ta pitara ginantung ring petung sawulih kinabehan ira, katon tang muka tumampak, tinalin suku nira, ri sor nira jurang ajro, tekang neraka loka inenahaken tinalyan ira, yan tikel ikang petung pegantungan ira. Hana tikus sawiji, tumoleh I Kuwung nikang petung ring pinggiring jurang, pratidina manigit wuku nikang wirastanamba, yata katon de Jaratkaru.
Artikel Terkait Kematian




Artinya :
Di alam Ayatanasthana ada roh yang bergantung pada sebilah bambu besar, didekati dan diperhatikan oleh Sang Jaratkaru keberadaan roh tersebut, kakinya terikat tali dan dibawahnya itu ada jurang sangat dalam yang merupakan (pintu) alam neraka. Di bagian pangkal bambu yang tumbuh di pinggir jurang, ada seekor tikus yang tak henti-hentinya menggigit bambu besar (tempat roh bergantung), inilah yang dilihat oleh Sang Jaratkaru.

 
Roh ini kakinya terikat tali dan digantung di bilah bambu besar yang tumbuh di pinggir jurang yang sangat dalam, sedangkan pangkal bambu tadi tidak henti-hentinya digigit oleh seekor tikus. Keberadaan roh/pitara yang digantung itu sangat tergantung pada cepat atau lambatnya gigitan tikus, ia hanya menunggu waktu untuk segera jatuh ke jurang neraka. Demikianlah sedikit gambaran dari alam Ayatanasthana, alam setelah kematian yang berada diantara surga dan neraka.
Atma Prasangsa olih IB Putra Manik Aryana, SS. M.Si

Sabtu, 24 Juli 2010

Agama Hindu sebagai Nafas Kebudayaan Bali

Budaya Hindu Bali
Sumber Agama Hindu adalah kitab suci yang merupakan sabda Tuhan kepada Maha Rsi atau para Nabi. Agama sebagai sabda Tuhan  bersifat Supra Empiris.Munculnya kebudayaan Bali yang bernafaskan Agama Hindu itu tidaklah lahir begitu saja. Ia muncul melalui proses evolusi yang panjang. Hal ini disebabkan Hindu tidak mengandung konsep Nihilistis. Artinya dalam konsep penerapan ajaran Hindu tidak mengenal suatu proses penihilan kebudayaan yang telah ada. 

Pendekatan Hindu melalui proses Assosiasi, Integrasi, Komplementasi dan Sublimasi. Datangnya Agama Hindu terlebih dahulu melalui suatu persamaan-persamaan atau pertautan-pertautan budaya (assosiasi) dengan budaya masyarakat setempat. 

Kalau sudah sama-sama ketemu terus melalui proses integrasi atau komplementasi. Proses integrasi artinya ajaran Hindu dapat menyatu dengan kebudayaan setempat akan saling lengkap melengkapi, karena adanya perbedaan yang saling lengkap melengkapi secara dinamis. 

Dari proses integrasi dan komplementasi itu akan terjadi proses pemeliharaan nilai-nilai kebudayaan setempat dan menjadi kekayaan budaya Hindu yang mempunyai ciri yang sangat khas. Untuk memajukan kebudayaan setempat melalui proses sublimasi artinya Agama Hindu menjadi jiwa untuk meningkatkan kwalitas kejiwaan dari kebudayaan setempat. Dengan demikian terjadilah proses pemuliaan kebudayaan setempat.

Bertemunya Agama Hindu dan kebudayaan setempat menjadi sangat harmonis dan dinamis.Dalam kaitannya dengan kebudayaan Bali yang bernafaskan Agama Hindu terjadi proses Assosiasi, INtegrasi, Komplementasi dan Sublimasi tersebut secara evolusi. 



Proses inilah menyebabkan penampilan kebudayaan Hindu selalu berbeda-beda bentuk luarnya, namun kalau ia dibedah maka akan nampak hakekat Hindunya yang universal. Meskipun Agama Hindu dan Kebudayaan Bali demikian menyatu, namun masih sangat mudah untuk membeda-bedakannya. Mana aspek supra empirisnya sebagai sabda Tuhan dan mana aspek empirisnya sebagai hasil karya manusia dalam mengamalkan ajaran Agama Hindu dalam wujud kebudayaan Bali. 

Dalam pembinaannya aspek Agama Hindunya yang universal harus tetap dipertahankan kelanggengannya. Yang dapat berubah-ubah adalah aspek kebudayaannya, mengikuti perkembangan jaman. Hal itu dapat di ibaratkan makanan, zat-zat yang dibutuhkan oleh badan seperti protein, lemak, karbohidrak, vitamin dan lain-lainnya itu harus tetap ada, namun bentuk makanannya dapat saja berubah-rubah. 

Dalam kebudayaan Bali yang bernafaskan Hindu dapat dilihat dari dua unsur yaitu aspek yang supra empiris yaitu unsur Agama yang merupakan sabda Tuhan dan aspek empiris yaitu unsur kebudayaan sebagai upaya manusia untuk mengamalkan ajaran Agama Hindu itu sesuai dengan kemampuannya. 


Dalam kitab suci Weda menurut Swami Siwananda mengandung aspek yang Sanatana Dharma dan Nutana Dharma. Sanatana artinya dalam Weda terdapat kebenaran yang kekal abadi. Sedangkan aspek Nutana artinya kebenaran Weda itu dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan jaman dan persepsi pendukungnya.
Mengapa Bali disebut Bali olih Drs. I Ketut Wiana

Jumat, 23 Juli 2010

Dharma Wacana : Bunga Mitir, Tebu Ratu, Tibah

Bhatari Durga Dewi
Dharma Wacana Tema : Bunga Mitir, Tebu Ratu, Tibah mwah Pisang Gedang Saba tan becik anggen aturan.Katuturan sapeninggal Ida Sang Pandhu, Ibu Kunti midabdab pacang ngawentenang yadnya. Korawa satane, Kaping ajeng Sang Duryodhana tan maren iri tan papegatan ring kawibhawan Ida Sang Pandawa, raris mapikayun pacang mamighna yadnya puniki. Nunas kanti utawi seraya ring Ida Dewi Durgha. 

Ida raris micayang wadwa maadan I Bhutakala Sakti sane ngusak-asik yadnyan Ida Sang Pandawa. Ri antuk kalintang saktine I Buthakala tan sida kakasorang antuk Ida Sang Pandawa; meh-meh sanjata Cakran Ida Sang Kresna tan mintulin kandugi mawali ke Wisnu Loka. Malayu Ida Sang Pandawa saha Sri Krisna sambilang ngeka upaya pacang ngasorang I Bhutakala Sakti. Kocap Ida Sri Krisna ngamargiang "tenung" kandugi uning, antuk I Bhutakala Sakti paican Ida Bhatari Durgha pacang ngerusak yadnyan Sang Pandawa.

Mangen-angen Ida Sri Krisna; tan pantara wenten sabda mantara :"Dewa, dewa Sri Krisna, tan pantes i dewa melaib ngarepin I Bhutakala. Gelis-gelis suarayang "Dewadatta" sungu yudhan Sang Pandawa saha "Pancayanya" sungu yudha Dwarawatine. Nanging sane patut nyuwarayang (ngupin), Nakula mwah Sadewa."


Sesampune sungu yudha maka kalih maswara, melaib I Bhutakala merasa dewek pacang  kasor. Irika raris Ida Sri Krisna ngepung pelakuan ipun I Bhutakala Sakti, sahasa pacang mademang; Ri antuk kalangkung jengah taler harep nyedayang Dewi Durgha.


Ida Betara Siwa sedek meyasa ring petapan, kabyapara pakahayunane ri antuk suaran bala yudhane layu kapilayu, gumanti medal Ida, sinambi metaken ring Ida Sri Krisna. Ida Sri Krisna nguningayang sapari indike sami saha harep nyedayang Dewi Durgha. Ida Betara Siwa malih ngandika :"Tusing lakar sida baan I dewa nyedayang Dewi Durgha, yan sarat kayun I dewane lakar mademang, ene tungkede anggon, kewala I Nakula ane patut ngelaksanayang."


Gelisang cerita Sang Nakula sampun kacunduk ring ajeng Ida Dewi Durgha saha uning ring prayojana sarawuh Sang Nakula, raris ngandika :"Ih cening, meme suba mitaen laka nemupati, nanging satonden tungkede katibakang teken meme, ada bhisaman meme kene :
1. Getih memene apang tumbuh dadi bungan mitir, tan wenang anggon aturan.
2. Tulang memene apang dadi Tebu Ratu, tuara dadi anggon raka-rakan canang, kewala becik anggen nguyeg tulang dadi sekah.
3. Nyonyon memene apang dadi biyu saba, sida anggen ngamertaning anak cerik gumanti ngentosin yeh nyonyon renannyane.
4. Bacin memene apang dadi tibah, tan paguna ipun arepe ring imanusa, bantes dados anggen rujak.

Dresta Sima Agama olih IGst A. Oka. 1994

Rabu, 21 Juli 2010

Alam Setelah Kematian ( Agastya Parwa )

Alam Setelah Kematian
Misteri kematian selalu menjadi topik menarik untuk dibicarakan oleh manusia yang hidup, oleh mereka yang memiliki rasa ingin tahu tentang apa yang akan dialami setelah kematian datang menjemput. Sebagian orang beranggapan bahwa mati adalah akhir dari segalanya, bagaikan keadaan ketika tidur lelap yang tanpa mimpi, sang diri lenyap tanpa sisa. Sebagian lainnya percaya bahwa akan ada kehidupan baru dalam bentuk berbeda yang akan dialami oleh roh setelah datangnya kematian.

Agastya Parwa adalah teks tua yang awalnya ditulis di India, teks ini kemudian dialih aksarakan dan ditransliterasi (alih bahasa) kedalam bahasa Jawa Kuna pada masa-masa kepemerintahan raja-raja besar di Jawa. Agastya Parwa ini pada zamannya adalah salah satu teks yang dipakai pegangan dan petunjuk untuk memahami alam lain setelah kematian.





Artikel Terkait Kematian

Menurut teks Agastya Parwa, hidup ini sesungguhnya tidak pernah akan berakhir, kematian bukanlah akhir dari segalanya, seperti pendapat dari sebagian orang di atas. Hidup ini terus berlanjut dan roh tidak pernah akan mati. Kematian hanya terjadi pada badan fisik, dimana perolehan kualitas badan rohani setelah melewati kematian sangat tergantung pada perbuatan sang roh itu sendiri.


Misteri kematian disajikan dengan gamblang dalam teks ini, dimana sesaat setelah kematiannya, roh dinyatakan akan keluar dari badan kasarnya, pada keadaan ini roh masih memiliki badan halus yang bentuknya menyerupai badan kasarnya dulu, sang roh masih berwajah dan memiliki bentuk tubuh yang sama persis saat hidupnya di bumi, namun badan ini sangatlah halus, hingga tidak mampu ditangkap oleh mata fisik kasar yang normal.



Selanjutnya roh akan tergiring utnuk memasuki alam yang bernama Mahasiraya, di alam Mahasiraya inilah kemudian badan halus masing-masing roh akan menyesuaikan bentuknya dengan perbuatannya di bumi. "Sarupa nikang pinaranya, yata pinaka sarira ning atma"

Artinya : "Badan tersebut masih menyerupai wujud fisik roh semasa hidupnya (dibumi)". Badan halus hasil penyesuaian ini dinamakan dengan badan atiwahika. Atiwahika orang jahat akan menjadi mengerikan, sedangkan yang bijak akan menjadi rupawan dan bercahaya.

Dari bentuk Atiwahika inilah orang-orang yang memiliki kepekaan intuisi, dapat membedakan mana roh yang semasa hidupnya gemar melakukan kejahatan. Mereka yang gemar melakukan kejahatan, walau masih bisa dikenali dengan cara melihat fisik terutama wajahnya, namun fisik mereka sangatlah mengerikan, keadaannya bagaikan hantu-hantu yang gentayangan. Sedangkan mereka yang semasa hidupnya gemar melakukan kebajikan dapat dikenali dengan badan halusnya yang sangat rupawan, bersinar-sinar bagaikan penampakan para Dewa.


Yan pareng swarga, diwaya sarira sulaksana, kadi Dewata sarirannya. Yan pareng neraka ya, tucita masalina sarira ikang pinawaknya.

Artinya:
Jika memperoleh surga, mereka akan memperoleh badan yang sangat baik, seperti Dewa wujud fisiknya. Jika ia (roh) memperoleh neraka, tubuh yang sangat hina dan mengerikan akan didapatkannya.

Badan halus Atiwahika ini berguna untuk mengantarkan roh menuju alam surga ataukah neraka. Mahasiraya adalah alam tengah, alam diantara surga dan neraka. Alam ini juga dianggap sebagai alam pengadilan bagi para roh. Dari alam inilah roh-roh yang telah berbadankan Atiwahika bergerak menuju surga ataukah neraka, lalu menikmati pahala dan karma dari perbuatannya di bumi semasa hidup.
Atma Prasangsa olih IB Putra Manik Aryana, SS, M.Si

Senin, 19 Juli 2010

Don Ambengan utawi Daun Ilalang

Sang Kadru
Kacerita Sang Kadru saha Sang Winata, maka kalih karabhi antuk Ida Bhagawan Kasyapa. Sang Kadru maduwe putra akeh pisan marupa ula (lelipi). Sang Winata maduwe putra kalih Sang Aruna mwah Sang Garuda. Sang ibu maka kalih ngelarang "Sipta Wacana" matoh-tohin indik bulun jaran. Antuk digelis pacang medal "Kuda Onceswara" maka phalaning pemuteran Mandaragiri. Sang Kadru mawosang bulun kuda Onceswara punika "Selem" utawi ireng. Sang Winata mawosang putih. Sang kalih pada ngagem janji satya wacana, asing-asing kaon, pacang dados "panjak" memanjak sasuening kantun maurip. 

Kasujatian ipun Kuda Onceswara punika mabulu putih, makada sedih kahyun Sang Kadru antuk pacang kaon, raris ngidih olas ring putra-putrane lelipi sami, mangda prasida bulun Kuda Onceswara punika ireng (selem). Kasih-asih putra-putrane sami sinambi ngeruruh I Onceswara saha sami pada ngewetuang wisa mamagut I Kuda punika kandugi magentos bulune dados ireng sangkaning wisa.

Artikel Terkait Satua Mebasa Bali 




Benjangne medal I Onceswara mabulu ireng (selem) maka cihna kaon Sang Winata kandugi Ida dados "panjak" setata ngiring sapari tuduh Sang Kadru, sarahina-rahina "ngangonang" Ule makweh putran madune. Sang Garuda putran Sang Winata uning ring sapratingkah ibune dados "pengangon lelipi". Antuk kasih-asih kahyune, Sang Garuda misadia ngentosin sang ibu dados pangangon Ula. Baca Juga Aneka Satua Bali siosan ring Nak Bali Belog

Suwening asuwe maweh kayune dados pangangon raris mataken ring Sang Lelipi. Ipun I Lelipi nagih Tirtha Amerta anggen nyilurang mangdene sida suwud dados pengangon lelipi. Wawu asapunika panagih lelipine, Sang Garuda raris mayudha lawan para Dewa Wrapsara-Wrapsari sami pada kaon. Medal Ida Bhatara Wisnu raris metaken; Apa krana cening mai ke Swarga?" 

Matur Sang Garuda: "Inggih Ratu titiang muatang Tirtha Amerta mangdene sida ibun titiang mararian dados panjak ngangon lelipi."
 

Bhatara Wisnu nagingin pinunas I Garuda, nanging ipun mangda misadia dados siandanan Ida Betara Wisnu. (Punika mawinan nenten gumanti pasah Ida Betara Wisnu ring sang Garuda macihna antuk pasikian GARUDA WISNU rawuh mangkin). 

Sesampune Tirtha Amerta punika rawuh ring mrecapada, mangkin lelipine sami winehaken Tirtha Amerta, nanging mesiram asuci laksana dumun, wawu polih nunas tirta. Sami lelipine ninggal kamandalune madaging Amerta ri antuk sami amerih digelis. Ida Betara Wisnu uning, tan wenten ngijengin Tirtha punika raris ke ambil kekeberang. (punika mawinan ila-ila nunas Turtha tan madaging canang pinaka pangijeng)

Sarawuh ipun I Lelipi sami, Tirthane sampun ical sakewanten kantun kritisanne ring daun ilalang. Punika kasilapin antuk I Lelipi kandugi kanin lidahnyane dados masepak rawuhing mangkin. Daun Lalang (ambengan) sampun keni cipratan Tirtha Amerta mawinan dados anggen sarana Upakara sekadi Karawista, panyiratan Tirtha ring bebanten Dewa-Dewi mwah sane lian-lianan.



Dresta Sima Agama Antuk I Gusti Agung Oka, Denpasar 1994
Garuda Wisnu Image saking Caminho do Meio

Rabu, 07 Juli 2010

Nyanggra Raina Saraswati

Dewi Saraswati
Om Swastiastu Inggih para pamedek sane banget  baktinin titiang, manawi ida dane sampun uning napi mawinan i raga sareng sami nyakupan tangan ring raina sane mangkin. I raga dados umat magama Hindu patut mangabakti ring Ida Sanghyang Widhi Wasa masrana antuk aturan saha nyakupang tangan kadasarin antuk manah suci nirmala ri kala nyanggra piodalan-Ida, minakadi piodalan Sanghyang Saraswati, sane nyihnayang tedunnya Sanghyang Aji, lambang kaweruhan.

Yening inargamayang titiang Sanghyang Widhi pateh ring Betara Surya sane madue sinar, sinar punika sane marupa lambang Sanghyang Saraswati nyinarin jagate makasami, mangdenne prasida ngamolihang kalanduhan miwah karahayuan. 


Sapunika taler kaweruhane punika marupa sinar ring i manusa mangdanne uning ngunadikayang sane patut kalawan tan patut. I raga patut sareng sami mangayu bagia majeng ring Ida Sanghyang Saraswati, santukan Ida sane ngicenin karahayuan, kawicaksanaan, kawibawaan miwah sakancan kaweruhan sane katiba ring i manusa malantaran antuk sastra.



Dados Sanghyang Saraswati rabin Ida Batara Brahma punika sujatinnya lambang dewan aksara utawi kaweruhan.



Para pamedek sane wangiyang titiang, manawita ida dane sareng sami sampun uning, rainan Saraswati puniki rauhnya ngenem sasih, inggih punika ri kala Saniscara Umanis wuku Watugunung.Indik pamargin tatacara rainan Saraswati punika kapalihang dados tigang runtutan sane patut sungkemin sakadi ring sor puniki.

- Ri kanjekan raina Saraswati punika saking semeng jantos pajeg surya, i raga sareng sami maturan ka sanggah utawi ka mrajan soang-soang miwah mantenin buku utawi lontar druwene. Sakewanten sadurung maturan nunas tirta dumun ring Ida Pranda utawi ring sesuunan ragane soang-soang. Sasampun banten punika kantebang raris kasiratin tirta Saraswati ping lima. Wusan punika wau ragane siratin tirta ping tiga, kaajeng ping tiga, maraup taler ping tiga.


Tetujon i raga nunas tirta Saraswati punika tan lian wantah mangda Ida ngicenin karahajengan miwah kaweruhan sane mautama. Tirta punika taler dados anggen nyuciang raga, ngicalang sakancan keletehane sane wenten ring ragane, pradene mrasidayang galang apadang ening tan pasing sing.


- Runtutan sane kaping kalih wantah masambang semadi. Ri kala masambang semadi patut majagra (=melek) sinambi ngwacen lontar-lontar suci keagamaan, minakadi; Bagawadgita, Sarasamuscaya, Ramayana, Bratayudha miwah sane lian-lianan. Ring sajeroning sambang semadi puniki i raga patut mabrata tan dados mapunyah-punyahan.

Tetujone mabrata punika wantah marupa latihan natingin godaan Sadripune minakadi; loba, iri ati, angkara murka miwah sane lian-lianan. Ngwacen lontar tetujonipun lianan ring marupa tangkis magadang taler nunas kaweruhan ring Ida Sanghyang Saraswati.



- Runtutan sane kaping tiga inggih punika mabanyu pinaruh ri sampun awengi majagra, mabrata nglaksanayang sambang semadi. Benjangne pasemengan raris mabanyu pinaruh ka beji utawi ka segara masiram tur matirta.

Tetujone iraga mabanyu pinaruh wantah nyuciang raga, mangda kaletehane sane wenten ring ragane prasida ical. Ri kala mabanyu pinaruh punika i raga masiram antuk toya kumkuman, inggih punika toya sane sampun madaging sekar arum. usan punika dados sampun mantuk. Sarauhe ring jero dados sampun antebang bantene, sakewanten siratin dumun antuk tirta Saraswati. Luu banten punika iket antuk tali raris genahang ring luhur korine utawi lawangane. Tetujonnya wantah nyihnayang i raga subakti saha sampun ngaolihang kaweruhan.



Inggih, ida dane para pamedek sane baktinin titiang, manawita ida dane sareng sami sampun naenin nyingak lambang Saraswati. Ring simbul punika kasinahang, Ida madue tangan tetiga soang-soang ngagem; Ganitri, lontar miwah gitar utawi rebab. Ida nglinggihin angsa. 

Irika taler wenten tunjung sane kasanding antuk paksi merak sane dahating asri pakantenannyane. Samian punika marupa simbul sane madue arti sakadi ring sor puniki.


  • Dewi Saraswati rabin Ida Betara Brahma, nyihnayang simbul kakuatan sane agung saha ngledangin nudut kayun, marupa prabawan sarining kaweruhan.
  • Gitar utawi rebab punika marupa simbul kabudayaan sane maha agung.
  • Ganitri punika marupa simbul kalanggengan, sane nyihnayang paplajahan punika tan pawates.
  • Lontar punika marupa simbul kaweruhan.
  • Angsa utawi sowan marupa simbul kawicaksanaan
  • Tunjung punika marupa simbul nyihnayang kaweruhan punika makeh sorohipun tur mahasuci.
  • Merak punika marupa simbul kawibawaan sane nyihnayang sang sampun pradnyan, wicaksana kajananugara ring jagate.

Inggih para pamedek sareng sami, wantah asapunika prasida antuk titiang ngaturang pariindikan ri kala nyanggra karauhan wedalan Saraswati puniki.
Makawasana titiang tan lali nunas geng rena sinampura, yan pade wenten makatuna langkung antuk titiang ngaturang.
Om Santi, Santi, Santi Om
Pidarta Basa Bali olih I Nengah Tinggen