Selasa, 28 Agustus 2018

PURA KELUARGA ( SANGGAH WARGA )

PURA KELUARGA ( SANGGAH WARGA )

pura kawitan umat hindu
Pelinggih Padmasana
Pura Keluarga ialah Pura yang bersifat khusus, untuk keluarga tertentu. Pura Keluarga atau Penyungsungan  Keluarga merupakan perkembangan dari Sanggah (Pemerajan) yang ada dalam keluarga (beberapa keluarga). Di setiap rumah Umat Hindu, di Bali khususnya terdapat Sanggah Keluarga ataupun Pelinggih-Pelinggih.

Kata Sanggah (Sanggar) mengandung beberapa pengertian :

  • Sanggah : Sanggar berarti kumpulan, maksudnya kumpulan dari Pelinggih (bangunan-bangunan tempat suci)
  • Sanggah  : Penyangga, Penampung, Penuntun, menuntun ke arah ke-Tuhan-an.
  • Sanggah  : Berarti pula Palinggih (tempat Tinggal)

Contohnya yaitu :
Sanggah Kemulan, yang beruang Tiga. Ada sebutan Sanggar Agung (Surya).
Kemulan : Modal,Pokok asal kata Mula
Sanggah Kemulan minimal ada pada keluarga Hindu untuk memuja roh-roh Leluhur (kawitan) yang telah disucikan dengan Upacara Keagamaan dan dipandang telah bersatu dengan Sang Hyang Tri Ҫakti (Brahma, Wisnu, Ҫiwa)



Setelah keluarga makin berkembang besar, maka berkembang pulalah Sanggah /Pamarajan menjadi Pura Keluarga yang lebih besar diantaranya ada yang menyebut Kawitan, Pura Dadya, Pura Panti, Pura Ibu (Paibon) Padharman dan sebagainya.
  • Kawitan (Kemimitan) dari kata Wit = Pokok
  • Dadya = Dadi = Menjadi, Turunan
  • Panti = Tempat Berlindung, Menenangkan Pikiran, Tempat Menunggu
  • Ibu = Induk, Pokok
  • Padharman = Tempat memuja roh-roh suci Para Bijaksanawan/Pahlawan Dharma.

Palinggih
Kata Palinggih berasal dari kata Linggih = Duduk, Tempat,  Letak
Palinggih = Bangunan, Tempat Duduk
Sthana untuk Pemujaan terhadap Tuhan, dengan segala macam Perbhawanya (manifestasinya), termasuk pula untuk tempat untuk memuja Leluhur.

Palinggih ini banyak macamnya sesuai dengan besar kecilnya suatu Pura (Kahyangan) disesuaikan dengan guna dan tujuannya serta peraturan-peraturan yang berlaku. Kalau kita masuk ke PuraKeluarga, maupun Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan, Kahyangan lainnya, maka jelas terlihat dari satu sampai puluhan Palinggih (Bangunan-bangunan suci) antara lain :
  1. Padmasana
  2. Gedong
  3. Meru
  4. Sanggah Kemulan (Rong Tiga) dan sebagainya

Dahulu kala pada Jaman Batu, orang-orang membuat tempat pemujaan kepada Matahari dengan cara meletakkan beberapa Batu Besar. Setelah kebudayaan berkembang kita lihat sebagai mana ada pada masa kini.

1. Padmasana : ialah Bangunan Suci untuk memuja Sang Hyang Widdhi (Tuhan). Padma = Teratai, Asana = Sikap, Bentuk. Padmasana = Bangunan Suci berbentuk Teratai. Dalam Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, dan Ҫiwa Tattwa dijelaskan : Tuhan mempunyai Ҫadu Ҫakti (kekuatan yang empat) dan Asta Ҫakti (kekuatan yang delapan) dilambangkan pada Teratai berdaun empat dan teratai berdaun delapan. Tuhan bersthana di tengah yang disimbulkan dengan Aksara Suci OM.

Selain dari itu Padmasana ini juga berdasarkan bentuk Gunung terdapat pada Adi Parwa, yaitu pemutaran Gunung Mandhara di Lautan Ksira. Ada kalanya Padmasana dilukiskan gambaran bayi telanjang, melambangkan Acintya ( Tuhan Maha Gaib, tak dapat dipikirkan).

2. Gedong : Palinggih Gedong yang di Pura Dalem ialah untuk memuja Dewi Durgha yang merupakan Ҫakti Ҫiwa.

3. Meru : Juga berasal dari bentuk Gunung. Meru berarti Gunung (Gunung Mahameru) tempat memuja Prabhawa (manifestasi Tuhan), Dewa-Dewa/Bhatara.

Diketahui bahwa Palinggih-palinggih itu dibangun sesuai dengan guna tujuan dan menuruti peraturan tertentu.



HAL YANG TIDAK DIKETAHUI TENTANG TEMPAT-TEMPAT SUCI


  1. Kalau kita tidak mempunyai tempat tinggal, tempat suci yang terdekat sehari-hari ialah dihati kita sendiri
  2. Kalau kita hanya mempunyai satu kamar, maka tempat suci kita wujudkan dengan bentuk “Pelangkiran”.
  3. Kalau kita mempunyai satu rumah dan pekarangannya, tempat suci kita wujudkan dengan “Sanggah Kemulan” (bentuk sementara atau permanent) yang berisikan pelinggih-pelinggih minimal : Rong Tiga dan Taksu.
  4. Kalau kita mempunyai satu daerah pedesaan, maka tempat suci kita ialah Kahyangan Tiga yaitu : a. Pura Desa, b. Pura Puseh (yang bisa digabung berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Sari, Meru, Manjangan Seluang, Bale Agung dan Padmasana), c. Pura Dalem (yang dipisahkan dengan a dan b). Sebaiknya  di dekat kuburan berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Dalem, Taksu, Prajapati dan Padmasana.
  5. Kalau kita mempunyai daerah Persawahan tempat suci kita dirikan di tempat sumber air pertama dengan berisikan pelinggih-pelinggih : Padmasana, Tugu, Meru, namanya Pura Ulun Suwi.
  6. Kalau kita mempunyai suatu pasar, maka tempat suci disana kita bangun dengan nama “Pura Melanting”
  7. Dalam suatu kota pusat pemerintahan, hendaknya tempat suci kita dirikan dengan pelinggih “Padmasana Agung” sebagai halnya “Pura Jagatnatha”
  8. Ditempat-tempat suci diatas gunung maupun ditepi danau dan laut didirikan suatu pelinggih “Padmasana” menurut kemampuan.

Denah dari tempat-tempat suci itu maksimum terdiri dari 3 (tiga) pelataran (Jaba, Jaba tengah, Jeroan). Dan minimum satu pelataran (Jeroan). Perlu kiranya kami sarankan disini bahwa untuk mencari tempat suci hendaknya tempat untuk pura itupun harusnya berhati-hati setelah memperhitungkan yang jika digabungkan dapat menimbulkan soal-soal ketenangan, keindahan, dan keserasian, jadi tegasnya tidak disembarang tempat.

sumber bacaan : Buku Hindu 
 

Senin, 20 Agustus 2018

15 Upacara : Dalam Pelaksanaan Upacara Penguburan Jenazah

Penguburan Jenazah
Cremation Ceremony
Pembakaran Jenazah
Yang dimaksudkan dengan penguburan jenazah ialah pemendaman jenazah sebagai proses peleburan melalui Prethiwi (tanah). Keluarga yang mempunyai halangan kematian (duka cita) harus mengusahakan penyelenggaraan upakara / upacara penjenazahan untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat apakah apakah Ҫawa akan dikubur ataukah akan dibakar. Kalau Ҫawa akan dikubur (dipendam) diperlukan persiapan Upakara serta perlengkapannya. Upacara Penguburan termasuk dalam Upacara Panca Yadnya yaitu Pitra Yadnya.
15 Upacara Dalam Pelaksanaan Upacara Penguburan
1. Puja Pralina
Kalau mendengar / menyaksikan seorang baru meninggal, patutlah mengucapkan Puja Pralina (doa Kematian)
“Om A, Ta, Sa, Ba, I, Om, Wa, Ci, Ma, Na, Ya, Mang, Ung, Ang, Murchantu, Swargantu, Moksantu, Ang Ksamasampurnaya Namah Swadha”


Di tempat persemayaman tadi jenazah di-borehi cendana supaya tidak kaku.
Setelah Upakara siap semua maka Ҫawa digotong (diturunkan) dari tempat persemayaman tadi menuju ke Papaga dinatar untuk dimandikan.

  • Pakaian jenazah dibuka, dipasanglah kain penutup kelamin, disiram dengan air biasa (tawar) yang jernih dan kemudian dengan air bunga (Kumkuman), silih berganti

  • Masisig (gosok gigi) dengan Arang Beras, Keramas dengan Air Kelapa yang diparut, Menyisir dengan sisir dan petat
  • Meraup (mencuci muka), mengerik Kuku dengan pisau kecil, Odak/Boreh.
  • Odak Gamongan pada muka, Odak Isen pada Badan, Odak Kunir pada kaki

3. Ҫawa diberi Pakaian
Setelah bersih Ҫawa diangkat ditempat untuk diberikan pakaian. Mengenai pakaian ada dua macam cara yang biasa; Pertama memberikan pakaian biasa atau pakaian orang hidup, dan yang kedua memberikan pakaian seabagai orang mati atau pakaian mati. Ada yang memberi pakaian hanya sekali yaitu pakaian mati saja.
Kalau memberikan pakaian dua kali, pertama dan kedua (bag.6) sebagai berikut : Pertama diberi pakaian sebagai orang hidup disesuaikan dengan jenis kelamin, pria dan wanita.
Telur ayam diusapkan mulai dari dahi sampai dengan kaki lalu dibuang. Serabut yang dijepit lidi dipakai untuk mengusap tulang lunas atau tulang kering. Toya Kumkuman disiramkan pada kepala dan badan. Dipercikkan dengan jenis-jenis Tirtha yang lainnya.
5. Nyembah
Sanak keluarga yang patut menyembah, melaksanakan sembah kepada orang yang meninggal dengan cakupan tangan setinggi dada dan sebagainya.
6. Ҫawa diberi pakaian mati (serba putih)
Kalau tadi Ҫawa pertama diberi pakaian biasa, maka untuk kedua diberi pakaian mati dari pada kain Kafan (Kasa)
Itik-Itikan ibu jari kedua tangan diikat dengan benang putih, demikian pula ibu jari kedua kaki. Monmon atau cincin bermata mirah dipasang pada bibir. Meletakkan Sapta Kawangen (Tujuh buah Kawangen) ; 1 (satu) di Kepala, 1 (satu) di Hulu Hati, 1 (satu) di Dada atau di Kelamin, 2 (dua) di Suku Kanan Kiri, 2 (dua) di Lutut Kanan Kiri. Delapan bendel Kawangen di Lambung Kanan dan Kiri.
Cermin di Mata, Waja di Gigi, Daun Delem berisi Radi di Telinga, Bunga Melur (Menuh) di Taring atau Hidung, Daun Intaran di Alis, Besi pada Tangan Kanan dan pada Kaki Kanan dan Kiri, Daun Terung Bola berisi Kapas di Kelamin Pria dan Daun Teratai di Kelamin Laki dan Daun Teratai di Kelamin Wanita. Umbi Gadung (Sekapa) untuk Pamulu (kulit) Angkeb Rai dipasang pada muka dan sebagainya.
Ҫawa dibungkus atau digulung dengan kain Kafan, diikat bagian atas, tengah dan bawah dengan benang putih. Boleh menggunakan kain putih, tikar, maupun peti, sesuaikan dengan keadaan. Ҫawa diusung disemayamkan kembali di balai.
9. Ҫawa diberi Upacara
Ҫawa di Upacarai oleh Pimpinan Upacara dengan Sesajen yang telah dipersiapkan, sebelum diberangkatkan ke Kuburan.
Ҫawa diturunkan dari balai persemayaman, diusung keluar rumah. Sampai di pintu gerbang rumah bagian luar atau di lebuh kuri, diadakan upacara Mapepegatan yang berarti perpisahan dengan sanak keluarga. Kemudian diusung langsung menuju ke Setra (kuburan, Sema, Tunon)
Sampai di kuburan Ҫawa diusung mengelilingi lubang kuburan sebanyak tiga kali, Pradaksina lalu diturunkan. Lubang kuburan sudah dipersiapkan sebelumnya dengan upacara sederhana: Canang, Segehan dan sebagainya.
Pimpinan Upacara melaksanakan tugasnya, memercikkan jenis-jenis Tirtha kepada Ҫawa. Tirtha tersebut antara lain : Pabersihan, Panglukatan, Tri Kahyangan/Dalem, Kawitan atau Kahyangan penyungsungan orang yang meninggal.
Kemudian Bangbang ditimbuni, dimana para umat Hindu yang melawat ikut  mengambil segenggam tanah dibuang ke dalam kuburan tanda ikut berduka cita dan memohon agar roh /Jiwatman orang yang meninggal mendapat tempat yang baik di Paraloka (Akhirat).
Setelah Ҫawa tertimbun dilakukan Pengayapan Sesajen (Banten). Upacara Kematian, serta rerentetannya antara lain : ke Surya, Dalem/Prajapati, Sedahan Setra, Ҫawa, Mabakti/Sembhayang.
14. Cuntaka (Sasebelan)
Untuk anggota Banjar atau Krama Banjar mengambil Cuntaka selama satu hari, maupun tiga hari. Untuk keluarga yang agak jauh atau sampingan ; 3, 5, 7, 9 hari. Untuk keluarga yang berhalangan kematian serta keluarga dekat ; 11, 12 hari. Cuntaka dianggap sudah bersih apabila sudah diperciki Tirta Pabersihan, maupun Prayascita.
Setelah dua belas hari sejak penguburan Ҫawa diadakan Upacara Ngarorasin, di rumah keluarga yang mempunyai alangan kematian dibuatkan Upacara Pabersihan, Prayascita dan sebagainya, untuk membersihkan lahir bathin serta rumah dari Cuntaka (sebel).
Demikian sekedar uraian pelaksanaan penguburan jenazah, walaupun kadang-kadang terdapat perbedaan yang kecil-kecil menurut Desa, Kala, Patra, tetapi inti pokoknya sama.


Penguburan Jenazah
Yang dimaksudkan dengan penguburan jenazah ialah pemendaman jenazah sebagai proses peleburan melalui Prethiwi (tanah). Keluarga yang mempunyai halangan kematian (duka cita) harus mengusahakan penyelenggaraan upakara / upacara penjenazahan untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat apakah apakah Ҫawa akan dikubur ataukah akan dibakar. Kalau Ҫawa akan dikubur (dipendam) diperlukan persiapan Upakara serta perlengkapannya.

Garis besarnya Upakara Upacara Penguburan Jenazah sebagai berikut :
Untuk memandikan jenazah diperlukan perlengkapan : Tempayan maupun ember berisi air bersih, air bunga (kumkuman), Papaga (meja) tempat meletakkan jenazah dinatar, Ulap-ulap yaitu secarik kain yang dipasang sebagai Leluhur di atas tempat mandi, sabun, handuk, kapas, secarik kain warna putih maupun hitam untuk penutup alat kelamin.
1. Banten Pabersian (Pasucian). Pabersihan itu diletakkan pada sebuah dulang yang isinya perlengkapan Pabersihan yaitu : Areng Beras dialasi Daun Dadap atau Sirih yang dibakar dipakai Sisig, Kelapa yang diparut berisikan Daun Dadap, Odak Gamongan dalam Takir, Odak Kunir dalam Takir, Suri, Petat, Pisau Kecil untuk mengerik Kuku, Burat Wangi, Lenga Wangi, Malem, Air Kumkuman, Telur Ayam sebutir, Serabut yang dijepit dengan Lidi, Kapas berisi minyak Kelapa dalam Takir, Lalang tiga batang dijepit dengan Lidi.
2. Pangreka (alat-alat yang akan dipasang pada jenazah) : Cermin, Daun Intaran, Daun Delem berisi Ragi, Baja, Bunga Melur (Bunga Menuh), Besi empat batang, Sedah (Sirih) Pijitan Hitam, Sedah Pijitan Putih, Daun Terung Bola / Daun Teratai berisi kapas untuk menutup alat kelamin pria / wanita (Purusa-Baga), Umbi Gadung (Sekapa) sebagai Pamulu (kulit)
3. Kawangen-Kawangen : Sapta Kawangen atau tujuh buah Kawangen, yang akan dipasang nanti pada tempat tertentu. Kawangen masing-masing terdiri dari delapan bendelan untuk dipasang nanti pada Lambung kiri dan kanan; cincin bermata mirah untuk Monmon atau memakai Bunga Widuri (putih), uang 250 Kepeng untuk Galeng (bantal).
4. Tirtha (Air Suci). Disiapkan beberapa macam Toya atau Tirtha menurut keperluannya : Tirtha Pabersihan, Panglukatan, Pangentas, Kahyangan Tiga/Dalem, Tirtha Panyungsungan orang yang meninggal  atau Tirtha Kawitan dan sebagainya.
5. Pangringkes (Panglelet, Penggulung) Jenazah. Perlengkapan Pengringkes atau Pembungkus, Penggulung ialah : Kain Putih (Kasa, Kafan) secukupnya menurut keperluannya yaitu untuk menutup muka, pakaian mati yang terdiri dari kain putih, kampuh putih, destar putih bagi jenazah pria, sedangkan pakaian mati untuk jenazah wanita disesuaikan pula seperti; kain dalam (tapih) , kain luar, anteng, kamen cerik, sabuk dan sebagainya. Kain pembungkus jenazah; kain putih untuk Rurub atau Rurub Jenasah / kajang; Tikar, Tali, Peti.
Kalau menggunakan pakaian biasa, sebelumnya memakai pakaian mati serba putih, harus disediakan pakaian biasa seperlunya kain, kampuh destar dan sebagainya.
6. Banten (Sesajen).Menyediakan Banten / Sesajen untuk penguburan jenazah disesuaikan dengan keperluannya, Banten untuk Ҫawa, Surya, Pura Dalem, Mrajapati, Sedahan (Penunggun Setra/Bambang) dan sebagainya.
Perlu dijelaskan bahwa Upakara ini dapat disesuaikan dengan Tri Pramana, yaitu Desa, Kala, Patra. Pakailah alat yang mungkin didapat. Andai kata tidak mungkin mendapat bahan, alat atau perlengkapan sebagai tersebut diatas, lanjutkan saja penguburan, dimana pimpinan upacara nanti akan menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangannya.

sumber bacaan : Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa PembangunanPanitya Tujuh Belas di Jakarta, Penerbit: Yayasan Merta Sari, 1986

Rabu, 15 Agustus 2018

4 Catur Guru - Menjadi Orang Dharmika

Catur Guru
Sesonggan Bali
Sesenggakan Bali

Agar hidup kita bahagia dan sejahtera di dunia ini dan kelak dapat naik ke Moksa loka, serta dijuluki orang Dharmika, karena tahu adat dan sopan santun, tata krama dan berkesusilaan tinggi, lagi pula tahu membalas budi, maka kita harus mengadakan hubungan yang serasi dengan yang dianggap guru itu.  Siapakah yang dianggap guru itu ?

Yang dimaksud dengan Catur Guru itu adalah :
2.    Guru Rupaka
3.    Guru Pangajian
4.    Guru Wiҫesa

Guru Swadhyaya menurut ajaran Agama Hindu adalah Sang Hyang Widdhi yaitu Guru Yang Maha Suci, Maha Bijaksana, Maha Adil, dan Maha Sempurna.
Sang Hyang Widdhi menurunkan kepada kita Ajaran Agama, yaitu suluh hidup di dunia ini dan kesusilaan yang tinggi lewat Catur Weda. Beliaulah yang terutama patut kita hormati, jungjung tinggi. Sepantasnyalah kita bersujud bhakti kepada beliau dan berterima kasih kepada-Nya karena jasa-jasa Beliau.

Guru Rupaka adalah Orang Tua kita, Ibu Bapak kita. Alangkah durhakanya seorang anak yang tidak bhakti kepada orang tuanya. Mengenai hubungan seorang anak dengan orang tuanya, Sarasamuccaya mengatakan .

Sarasamuccaya , ҫloka 189 :
“Maka jika ayah-bunda anda meminta suatu pemberian, meskipun nyawa anda sekalipun, persembahkanlah kepada beliau, sebab beliau yang menjadikan anda”

Sarasamuccaya, ҫloka 190 :
“Karena amat besarlah kesakitan yang diderita oleh beliau selagi anda dalam kandungan, segala daya upayanya memelihara anda merupakan hutang anda sekarang, terang tidak dapat anda balas hutang budi itu dalam waktu 100 tahun.”

Yang dimaksud dengan Guru Pengajian adalah Guru yang mengajarkan Ilmu Pengetahuan (aji) kepada kita dan memberikan pendidikan yang amat berguna bagi kita, hingga kita menjadi orang yang berilmu pengetahuan dan berkesusilaan tinggi.
Sudah sepantasnyalah para Guru, Resi dan Sulinggih pada umumnya mendapat penghormatan dari para muridnya atas jasa-jasa beliau itu.


Guru Wisesa adalah  Pemerintah yang menjadi pengayom kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat, tempat rakyat mencari perlindungan di waktu menghadapi bahaya dan ditimpa kesusahan.
Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah kalau kita sebagai rakyat membantu Pemerintah dalam segala hal, apabila tenaga kita diperlukan olehnya dan taat kepada semua peraturan dan perintahnya, sebab semua itu tentulah demi kebaikan rakyat semuanya.




Panca Satya berarti Lima Kesetiaan yang harus dilaksanakan agar kita mendapat julukan atau predikat sebagai orang yang dapat dipercaya, mengenal adat sopan santun dan patut dihormati dan berkesusilaan tinggi. Nama baik adalah harta yang paling tinggi nilainya di dunia ini. Sebab orang yang tidak setia kepada janjinya dapat juga diajukan ke depan Pengadilan, karena dituduh melanggar suatu norma hukum.
Akan tetapi yang sangat tercela dalam pergaulan hidup adalah pelanggaran terhadap norma moral agama yang merupakan beban mental seseorang dalam hidupnya di masyarakat ini maupun di Paraloka kelak.

Yang dimaksud dengan Panca Satya adalah :
1.    Satya Hrdaya                   : Jujur mental dan bathin
2.    Satya Samaya                  : Tepat, taat pada janji
3.    Satya Wacana                 : Konsekwen pada perkataan
4.    Satya Laksana                 : Jujur dalam perbuatan
5.    Satya Mitra                        : Setia kepada kawan, setiakawan

Sebagai penganut Agama Hindu yang percaya adanya Moksa , kita diharuskan berusaha sekuat tenaga untuk memahami, mendalami, menghayati, dan akhirnya mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari Panca Satya tersebut di atas, agar jalan kita menuju Moksa Loka lurus, lebar dan terang benderang.


Catur Marga Yoga
Catur Marga Yoga atau Catur Yoga berarti 4 (empat) jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan abadi atau Moksa yaitu bersatunya Atman dengan Brahman.  Mengenai Catur Marga Yoga telah diuraikan pada Bab II, sub 2.5. Catur Marga Yoga terdiri dari :
1.    Jnana Marga Yoga
2.    Bhakti Marga Yoga
3.    Karma Marga Yoga
4.    Raja Marga Yoga




Tri Kaya Pariҫuddha berarti : Tiga perbuatan yang patut, bersih atau suci. Ketiga perbuatan dimaksud adalah :
1.    Berpikir harus suci                   : Manacika Pariҫuddha
2.    Berkata harus suci                   : Wacika Pariҫuddha
3.    Berbuat harus suci                   : Kayika Pariҫuddha

Tri Kaya Pariҫuddha merupakan sarana yang amat ampuh untuk menangkis hambatan-hambatan yang dihadapi pada pelaksanaan Susila Agama Hindu. Dari Tri Kaya Pariҫuddha timbulah 10 (sepuluh) sistem pengendalian diri yaitu :
1.    3 (tiga) macam berdasarkan pikiran
2.    4 (empat) macam berdasarkan perkataan
3.    3 (tiga) macam berdasarkan perbuatan

3 (tiga) macam berdasarkan pikiran, adalah :
1.    Jangan mengingini sesuatu yang tidak halal
2.    Jangan berpikir tidak baik terhadap orang atau mahluk lain
3.    Jangan tidak percaya akan Hukum Karma

4 (empat) macam berdasarkan perkataan, adalah :
1.    Jangan suka mencaci maki
2.    Jangan berkata kasar kepada orang lain atau mahluk lain
3.    Jangan menfitnah
4.    Jangan ingkar pada ucapan atau janji

3 (tiga) macam berdasarkan perbuatan, adalah :
1.    Jangan menyiksa atau membunuh mahluk lain
2.    Jangan melakukan kecurangan terhadap harta benda
3.    Jangan berzinah Baca : 10 Penyakit Sosial Manusia

Tuntunan Susila Lainnya
Lain dari pada cara pengendalian diri atau larangan seperti tersebut di atas, yang berdasarkan Tri Kaya Pariҫuddha ada lagi Tuntunan Susila lain, seperti:
1.    Panca Yama Brata
2.    Panca Niyama Brata
3.    Dasa Yama Brata
4.    Dasa Niyama Brata

Panca Yama Brata  adalah Lima (5) Jenis Pantangan (Brata) serta upaya untuk menjauhkan diri dari larangan Agama sebagai landasan / prinsip hidup kesusilaan, yang terdiri dari :
1.       Ahimsa : yang berarti tidak menyakiti atau membunuh mahluklain, termasuk pula menyakiti dengan kata-kata yang keji dan kotor serta tingkah laku yang tidak senonoh.
2.       Brahmacari : artinya menuntut ilmu dan selama itu pantang untuk melakukan senggama.
3.       Satya : artinya setia pada janji yang telah disepakati (di-ikrar-kan bersama)
4.       Awyawaharika : artinya tidak suka bertengkar yang tidak bermanfaat.
5.       Asteya : artinya tidak melakukan pencurian atau kecurangan.

Panca Niyama Brata berarti Lima Jenis Pantangan atau ketaatan pada peraturan Dharma  yang telah ditentukan seperti :
1.    A-Krodha : artinya tidak dikuasai oleh nafsu marah (emosi)
2.    Guru Susrusa : artinya hormat dan patuh kepada Guru, serta melaksanakan ajaran-ajarannya
3.    Sauca : artinya senantiasa memelihara kesucian diri, lahir dan bathin
4.    Aharalagawa : artinya pengaturan waktu makan dan jenis makanan yang dimakan (menu-bergizi) dan tidak bergaya hidup boros
5.    A-Pramada : artinya tidak sombong, angkuh dan takabur.

Dasa Yama Brata
1.    Anresangsya atau Arimbawa artinya tidak mementingkan diri sendiri
2.    Ksama artinya suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan
3.    Satya  artinya setia kepada ucapan, sehingga menyenangkan semua mahluk
4.    Ahimsa artinya tidak membunuh dan tidak menyiksa, menyakiti
5.    Dama artinya dapat menasehati diri sendiri
6.    Arjawa artinya jujur, mempertahankan kebenaran
7.    Priti artinya cinta kasih sayang terhadap sesama mahluk
8.    Prasada artinya berpikir dan berhati suci serta tanpa pamrih
9.    Madurya artinya ramah tamah, lemah lembut, sopan santun
10. Mardawa artinya rendah hati.

Dasa Niyama Brata
1.    Dana artinya suka memberikan dana punia/ beramal
2.    Ijya artinya pemujaan terhadap Sang Hyang Widdhi dan Leluhur
3.    Tapa artinya pengendalian diri
4.    Dyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Tuhan
5.    Swadhyaya artinya mempelajari dan memahami ajaran-ajaran suci
6.    Upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu kelamin/seks
7.    Brata artinya taat akan sumpah, larangan
8.    Upawasa artinya berpuasa
9.    Mona artinya membatasi perkataan
10. Snana artinya melakukan penyucian diri tiap-tiap hari dengan jalan bersembahyang

Hal tersebut di atas inilah hendaknya dilakukan untuk menaklukkan musuh-musuh yang bersarang di hati kita, untuk meningkatkan kesusilaan hidup, yang merupakan jaminan akan tercapainya hidup kerohanian yang tinggi.


ARTIKEL TERKAIT CATUR GURU